Si Bincik
Selepas lebuh lurus di gerbang kota sesudah bukit-bukit padi-padi menguning angin berdesauan lembut dan orang-orang berpantun air jernih dan ikannya yang jinak di sanalah payakumbuh nagari gadis-gadis bercanda di tepian bujang-bujang bersimbur sepanjang pematang maka tataplah! jauh ke lereng ngalau goa-goa pun terhampar sebagai kisah si bincik yang didendangkan di badan watu menangis
+ palung waktu. jika ada alasan untuk menunggu adalah busuk ranjang kanak-kanak. kelambu yang bergabuk pulangkan dia ke kubangan... – kurasakan desirnya hulu yang hanyut. di taeh sampelong dilantunkan rindukah menikam rantauku + palung waktu. di ngalau helat kusiapkan pengantin yang akan pulang. adakah dia telah dewasa? – siapakah itu yang menyayat nadi dalam hari ayo siapkan, biar kupacu kudaku
maka berpaculah pagi siang dan malam seorang ksatria dengan tujuh dubalang lesat membelah rimba si bincik pulang ke tandus rindu. bukit, gunung dan lekuk ke desa lembah ibunya yang tua
canang dipukul siang gemanya hingga ke rabu sepi. orang-orang pun berkumpul di antara lelalang tua-tua membesarkan mata gadis-gadis melepas rambutnya. matahari gagah si bincik di atas kuda tujuh dubalang dengan pakaian kebesaran. dan angin pun bersimpuh
+ palung waktu. telah kujerat napasnya bau itu sekarang telah dewasa anakku, merapatlah ke tubuhku!
angin menggeliat pelan. si bincik muram hamparan sepanjang pemandangan tiba-tiba baginya kelam
– tujuh malam di perjalanan dengan tujuh dubalang berpakaian kebesaran tak pernah kukira mimpi seburuk ini orang tua, saya si bincik dengan seribu mahkota!
angin yang bersimpuh, pelan-pelan naik, dan hitam pelan-pelan
+ demi tangis kecil yang tak kulupa demi helat kusiapkan mendekatlah anak yang besar berkalang lengan kasih tak pernah lerai di tubuhku sebentar lagi serunai melengking mengiringi perkawinan – adakah lembah yang telah salah. atau angin berubah arah enyahlah orang tua, sebelum kudaku meringkik menerjang langit + anakku, suaramu masih kusimpan tidakkah kamu rindu gadis dulu di tepian? – enyahlah wanita bansaik atau kudaku kan menjilat kulitmu yang busuk
malin kundang! malin kundang! serupa dongeng yang berulang orang-orang berlarian meninggalkan lelalang tua-tua ternganga gadis-gadis mengikat rambutnya
angin telah tepat naik. hitamnya sempurna melukis langit dengan legenda yang murung
si bincik dengan tujuh dubalang berpakaian kebesaran meludahi tanah. melajang bukit debunya turun ke lembah dan cucur airmata jadi doa
+ tuhan, rinduku telah membatu. penungguanku membatu maka batukanlah semua. sekalipun itu anakku!
angin seketika mungkin tak ada. hanya hitam saja serta langit berubah kelabu dan asin
helat yang tak jadi si bincik berteriak di atas kuda bersisian bayang dengan dingklik pengantin, payung dan pelaminan tak jauh di antaranya, sang ibu pun membatukan diri dalam doa berapa kutuk harus diturunkan sebelum sejarah.
Payakumbuh, 2007
Si Bincik: sebuah legenda dari Kota Payakumbuh Sumatera Barat. Sumber http://www.sepenuhnya.com/