Hubungan Misbehavior Dengan Self-Determination - Gasskeun Hubungan Misbehavior Dengan Self-Determination | Gasskeun

Hubungan Misbehavior Dengan Self-Determination

HUBUNGAN MISBEHAVIOR DENGAN SELF-DETERMINATION


Adelman & Tailor (1990) mendeskripsikan fakta dalam penelitiannya bahwa sebagian sikap menyimpang (misbehavior)  di sekolah sanggup dipahami sebagai upaya siswa bertindak dengan cara meningkatkan perasaan kebebasaan diri, kompetensi dan korelasi dengan orang lain. Artinya sikap menyimpang (misbehavior) sanggup muncul alasannya yakni adanya self-determination pada diri siswa. Gambaran perkara tersebut akan dianalisis menurut tiga aspek kebutuhan dasar insan dalam konteks teori self-determination yaitu otonomi (autonomy), kemampuan (competence), dan korelasi (relatedness).
www.riviewbuku.com
Berbeda dengan teori sikap yang berpusat pada perkembangan, teori motivasi intriksik lebih menekankan pada fakta bahwa individu sangat rentan pada peristiwa-peristiwa yang memperlihatkan tekanan/kontrol, menimbulkan kegagalan yang berulang/umpan balik yang negatif, atau hasil yang tidak sanggup dikontrol/dikendalikan. Sebagai pola yakni insiden penegakan kedisiplinan siswa dengan cara memperlihatkan eksekusi kepada setiap tindakan pelanggaran/ketidakpatuhan terhadap aturan. Dalam perkara tersebut, siswa terancam kehilangan kebebasan memilih pilihan (otonomi) alasannya yakni adanya tekanan berupa hukuman. Perilaku menyimpang (misbehavior) sendiri sanggup tumbuh dalam diri siswa sebagai upaya untuk melawan tekanan yang mengambil hak otonominya.

 Dari perspektif di atas,  Adelman & Tailor (1990) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa besarnya motivasi intrinsik yang mendasari sikap menyimpang pada siswa sekolah sanggup dipahami dalam keterkaitannya dengan aktivitas yang berorientasi pada perkembangan yang berasal dari kebutuhan psikologis dasar untuk otonomi (autonomy), kemampuan (competence), dan korelasi (relatedness). Perilaku menyimpang juga sanggup muncul sebagai bentuk reaksi terhadap bahaya kepada tiga kebutuhan dasar psikologi tersebut. Adapun tingkat bahaya tergantung pada perspektif siswa terhadap insiden dan konteksnya.

Adapun  Ryan & Deci (2006) menegaskan bahwa penelitian berbasis self-determination telah mendokumentasikan manfaat otonomi dan tunjangan otonomi dalam konteks lingkungan sosial ibarat keluarga, sekolah, masyarakat dipakai untuk meningkatkan potensi insan yang tercermin dalam hasil perilaku, relasional, dan pengalaman. Self-determination sebagai hasil empiris yang sanggup dipakai untuk pengaturan diri yang sehat dan kesehatan mental yang positif.


Sumber https://rimatrian.blogspot.com/

Related Posts