Buku - Mengukir Kenangan - Gasskeun Buku - Mengukir Kenangan | Gasskeun

Buku - Mengukir Kenangan

Pengagum Rahasia

Bab 1 

-Dalam diam mengagumimu- 

Menginginkan seseorang, yang tidak mungkin untuk dimiliki. Cinta terlalu buta untuk melihat sebuah ketidak mungkinan.  


Ada yang masih kulakukan secara sembunyi-sembunyi. Ada yang sedang mengharapkan sesuatu yang ketiadaannya masih sanggup dimengerti.

Ada sewujud doa yang kuungkap setiap mengawali pagi, untuk ia yang belum juga tahu perihal apa yang kulakukan setiap hari, di sini.

Ada yang kesulitan mengatur debar napas, seusai segaris bibirmu mengembang bebas. Sebutlah saya pengaggummu.

Entah hingga kapan saya hanya sebagai sosok transparan yang memelukmu dengan doa dan harapan. Entah hingga kapan rasa ini tak terutarakan.

Entah hingga kapan saya harus
menyimpan perasaan yang tak beralaskan alasan. Rasanya dengan ketidak tahuanmu perihal pengetahuanku tentangmu lebih baik untuk sementara waktu.

Bukannya saya tidak sedang mengharapkan akan sebuah temu perasaan, namun hanya berusaha memaklumi segala keterbatasan keterbatasan yang ada.

Bukan saya tidak ingin turut dirindukan, namun hanya menghindari hati ini dari kemungkinan dikecewakan.

Karena hanya dengan melihatmu, tampaknya sudah cukup untuk membantu menenangkan tumpukan rindu yang sudah semenjak lama menunggu.

Mungkin seluruh penjuru pikirmu meragu perihal seberapa besar perasaanku, tapi sungguh ini bukan sebatas rasa penasaranku.

Mungkin menurutmu saya pengecut, tapi waktu yang tepat hanya belum menjemput.


Dari sisi yang sama sekali tidak terlihat, saya senang memandangimu sebagai suatu ciptaan yang semenjak awal sudah indah terpahat.

Biarkan saya mengagumimu sekuat yang saya mampu, biarkan saya mengagumimu selama yang saya mungkin.

Tak perlu pedulikan sebesar apa rasa yang semestinya kau balas. Tak perlu, acuhkan saja. karna bagiku, memandangimu saja bisa membuatku puas.

Nampaknya saya terlalu malu memperlihatkan perbuatanku akan perasaan ini. Mungkin saya takut ketika suatu waktu kau tahu, kemudian seluruh perasaanku terhenti karena kau berlalu. Menunggu hanya satu-satunya agresi statis yang menurutku begitu manis.

Aku mungkin hanya terlalu siap untuk mendapatkan bahwa kita bukanlah untuk menjadi nyata. Maka saya akan sembunyikan rasa yang ada selama yang saya bisa.

Meski memang selalu ada keinginan semoga kita diciptakan untuk saling menemukan, namun saya sadar tak perlu berharap pada sebuah ketidakmungkinan.

Untuk rindu-rindu yang karenanya berlarian menujumu dikala tatap mata kita bertemu, saya menyelipkan sekecil doa di situ.


Aku mengagumimu tanpa suara, mungkin dalam menenangkan rindu harus dengan cara yang sama.

Meski tanpa isi hati yang bersuara, saya bukannya seorang penipu rasa. Tapi mungkin saya telah dihadiahi porsi mengagumi dengan cara tersembunyi.

Mungkin cinta lebih baik tersimpan dibalik saku Tuhan, hati yang semakin jatuh perlahan dan kau yang dipenuhi ketidaktahuan. 

Jangan pernah berpikir bahwa saya lelah dengan dongeng rahasia ini, karena sungguh saya menikmati tugas ini. Mengagumi ialah hal yang masih bisa kulakukan. Tak ingin bicara soal ketetapan, tapi selama senang masih berdatangan seluruh dongeng tinggal Tuhan yang melanjutkan.

Semoga, pengaggum rahasia ini diperbolehkan senang dikala Tuhan menghadiahi "kita". 

*  

Namun kini, Aku ingin istirahat mengingatmu, tapi kepalaku sayangnya sudah jadi kamar tidurmu jauh sebelum saya mengenal namamu.


jangan pernah berpikir bahwa saya lelah dengan dongeng rahasia ini, karena sungguh saya menikmati tugas ini. Barangkali kau tak menyadari betapa saya memperhatikanmu.

Kau memang tak perlu tahu. Cukuplah kupastikan hidupmu mulus berjalan dan tak kekurangan. Hanya memandangmu dari jauh pun, saya tak pernah keberatan.

Kadang saya heran, apakah cinta memang selalu segila ini? Pikiranku mirip pohon natal yang bercabang. Di setiap ujung tangkainya, kau lah yang jadi muara penantian panjang.


Kuakui. Sesekali pikiranku melayang begitu saja ke suatu kawasan yang kuharap bisa dinamai "Kita".

Orang bilang pengharapan ialah sumber sakit hati yang paling tak terelakkan. 

Namun kini, kau telah menjadi sebuah harapan(hope), harapan yang selalu menjadi semoga- semoga, yang saya semogakan kepada Tuhan.

Dan aku, ialah orang keras kepala yang rela pasang tubuh untuk mendapatkan sakit yang kelak berdatangan. Jujur, saya seringembayangkan bagaimana rasanya bila kelak kita bisa bersama.

Menyatukan 2 ke-aku-an kita jadi satu "kita" yang tak terpisah spasi dan jeda. Sesekali saya suka mengamatimu tanpa kau sadar.

Andai, saya berani kesisimu. Menemani jenuhmu yang mungkin saja tiba-tiba menyerang.

Jika saja saya bisa menemanimu makan siang. Akan kupilihkan hidangan masakan yang wajib mengandung sayuran. Sembari makan, kita bisa banyak berbincang.

bercerita maupun membahas perihal sesuatu hal yang mengasikan. Aku akan mendengarkan, sembari sesekali menimpali dan memberi candaan.

Saat lelah dengan topik serius, kita bisa bertukar dongeng soal film dan lagu yang kini jadi materi pembicaraan. Apapun
topik yang kau bawa ke meja perbincangan, saya akan dengan senang hati mendengarkan.

Jika "kita" itu memang ada. Kuharap, langkah yang kuambil dikala ini memang mengarah ke
sana. Kau memang selalu mengisi pikiranku.

Aku ingin melaksanakan ini dan itu. Tapi pada karenanya jalan terbaik menurutku ialah diam, mengamatimu, sembari terus membawa namamu dalam dawai-dawai doa nan bisu.

*  

Mengenalmu ialah hal yang tak bisa kuelakkan dalam hidupku. Aku yakin ada kekuatan Maha Besar yang telah mengatur pertemuan kita didalam catatan rahasiaNya. 

Mungkin kau tak tau, kau ialah sumber pandangan gres terbesarku, sosokmu ialah wajah yang terbayang di ufuk mataku ketika alfabet berlalu lalang dengan gamang di alam pikiranku.

Entah asap dupa apa yang telah kau tiupkan hingga tak bisa lagi kugantikan sosok lain sebagai sumber inspirasiku dalam merangkai kata.

Tapi saya terlalu malu untuk mengejawantahkan isi hatiku, perasaan perasaanku hanya meresap menjadi alunan kata dan nada yang teronggok di file rahasia dalam memoriku.

Semua kusimpan rapat rapat, sesenyap ufuk senja dikala malam tiba menjemput.

Saat ini, cukuplah saya menghidupkanmu dalam mimpi mimpiku, dalam pengharapan-pengharapanku, yang positif walau tampak sekilas fana, bahwa semua akan terjadi tepat pada waktunya.

Semua akan dipersandingkan
sesuai catatan rahasiaNya. Hingga semua pengharapanku tak lagi berkalang semu di matamu Maka biar saya menjaga rinduku, biar saya menjadikanmu pandangan gres dalam tiap nada dan alfabetku.

Biar rindu rinduku tumbuh sendiri bagai perdu di tengah hutan, yang subur tanpa pupuk pupuk dusta.

Sampai suatu saat, Tuhan menunjukkanmu perasaan yang selama ini kusimpan dalam diam.

Menyayangimu tanpa pernah
mengungkapkannya membuatku tahu:

cinta yang paling baik ialah cinta yang tetap sederhana, Bersama atau tidaknya kita nanti, kau tetap perlu tahu. Kehadiranmu tak pernah kusesali.

Keberadaanmu mengajarkanku banyak hal yang harus kusyukuri Sebagai insan biasa, tentu saya ingin kita bisa bersama. Sudah terbayangkann betapa menyenangkannya hari-hari waktu kau selalu bisa ditemukan di sisi.

Tapi bila pun planning dan harapan itu tak terwujud, keberadaanmu tak pernah kusesali.

Kau mengajarkanku bahwa cinta ialah perkara memberi. Menjadi sebaik-baik pribadi, tanpa perlu khawatir apakah kasih yang sebesar itu akan kembali.

Kehadiranmu membuatku percaya. Bahwa cinta selalu berada di bawah tanganNya yang paling
kuasa.

Beberapa hal perlu diusahakan, termasuk kamu. namun hasil karenanya hanya butuh diserahkan pada semesta.

Mencintaimu dalam diam sekian lama membuat mataku terbuka: begitu banyak bentuk perjuangan yang bisa dilakukan di luar merayu dan mengobral kesepakatan manis belaka.

Terima kasih, sudah pernah ada. Terima kasih atas pelajaran yang kau bawa tanpa harus mencekokiku dengan ceramah yang berentet panjangnya.

Jika kelak kita bersatu, tak perlu kau khawatir. Kau mendapatkanku, orang yang selama ini dalam diam terus mendoakan aneka macam kebaikan untukmu.

Namun bila takdir kita memang bukan jadi satu, kau pun harus camkan ini dalam kepalamu. 

Doa-doa itu tak pernah hilang.
Apapun yang terjadi, kau tak akan kehilangan seorang pemohon kebaikan yang handal.

Selamat melanjutkan perjalanan. Semoga kelak kita bertemu di satu persimpangan yang memang telah tertakdirkan.


Hujan

Bab 1 

- Hujan selalu menyisakan sebuah kenangan- 


-Hujan selalu bisa menyamarkan air mata yang jatuh di pipi.- 


Kadang ada kenangan dan air mata yang bersembunyi di balik rintikan hujan yang jatuh kebumi.

Tanpa permisi, hujan jatuh menghantam bumi bahkan tidak pernah ragu sedikitpun walau bumi berteriak meminta ampun.

Sama mirip ingatan tentangnya yang seketika tiba tanpa permisi, kemudian kembali mengoyak isi hati.bKu akui ia hebat.

Hujan & dirinya selalu bisa menyeretku ke pojok ruang tergelap ingatanku. Mengaisngais kembali kenangan yang telah bersusah payah saya kubur dari setiap jengkal sudut ingatanku.

Dan hujan selalu bisa meluluh lantakan benteng kokoh yang telah saya bangkit sebagai tameng antara saya dan semua kenangan perihal dirinya.

Dan alhasil saya hanya bisa kembali menyeruput setiap tetes ingatanku bersamanya.



Dan sungguh saya candu akan hal ini. Dan lagi untuk kesekian kalinya hujan kembali menelanjangi rinduku padanya.

Ini ialah hujan kesekian kalinya, untuk rindu yang entah sudah ke berapa kalinya.

Sebab seluruh kenangan tentangnya kurangkum dalam mendung; kesedihan yang sengaja tak ingin kutumpahkan.

Aku merindukannya dikala hujan tiba dengan derasnya. Hujan reda, sedang rinduku, tidak.

Ia bagiku layaknya hujan yang turun sehabis mendung; ada dimana-mana. Aku baginya; mungkin cukup mirip bayangan saja. Dilihat kemudian dilupakan.

Bahkan sehabis ia pergi, dirinya masih saja melayang-layang dipikiranku, menyerupai otakku ialah bumi dan ia bagai burung yang bebas terbang melayang di atasnya.

Tidak seharusnya saya mirip ini, karena saya tahu, dikala hatiku teriak, ia tidak pernah tahu dan bahkan tidak akan perduli.

karena pikirannya kuyakin, sudah penuh dengan semua perihal dirinya seseorang yang kini sangat ia dambakan..

Ku tebak kini ia niscaya sedang tertawa bersamanya, sedangkan aku? Aku hanya bisa menikmati rintik hujan dan berharap air mataku bisa tersamarkan bersama rintik hujan yang jatuh tepat dijendela kamarku.

Sekarang saya harus apa? Setelah ia kecewakan aku,Nyatanya membencinya sungguh saya tidak bisa.

Mencoba bersembunyi dari segala kenangan-kenangan tentangnya telah kulakukan. namun dirinya lebih hebat, dengan mudahnya ia menemukanku dan mencekokiku dengan apa apa yang ingin sekali kulupakan. Hanya menyibukan diri, satu-satunya cara saya sedikit terlepas dari bayang-bayang tentangnya .

Nyatanya? Melupakannya itu ialah hal tersulit. Karna, seisi kepalaku telah jadi kamar tidurnya Yang penuh akan perihal dirinya.


Dihadapkan dengan sebuah kenyataan, yaitu alasan kenapa kau pergi dariku, sedikit membuat saya membenci dirimu.

Namun, bagaimana saya bisa membenci orang yang hingga kini masih saya sayangi?

Sepertinya saya terlihat ndeso di matanya. Tapi tak apa, Memang sudah terang ia telah menyakitiku dan bahkan dirinya sudah meninggalkanku berbahagia dengan orang lain, tetapi saya masih saja mendambakan dirinya.

Tetapi kuingatkan satu hal, suatu dikala kau akan sadar, kebodohanku ini ialah bukti sebuah ketulusan cinta.

Langit memang paling mengerti perasaanku. Hatiku sedang ingin menangis kecil malam ini, dan langit pun mendahuluiku. Aku mencoba menikmati pemandangan langit gelap dan mencicipi tetesan demi tetesan hujan yang mengalir di rebah jatuh diwajahku.

Berharap ada sebuah kedamaian yang bisa ditawarkannya padaku. Namun, meski langit bersikap sangat bersahabat, ingin menemaniku menghadapi kegundahan hati ini, saya tetap merasa sendirian.


kemudian hujan semakin deras, diikuti pula kenangan-kenangan yang mulai tiba melebat.


Hujan kemudian meramaikan keadaan dan kau mulai berkeliaran dalam ingatan bersama percakapan percakapan yang dulu sempat kita uraikan, semua yang kita semogakan kini tinggal lah angan .

Aku terhanyut dalam lautan rindu yang tak kunjung surut dan lagi lagi terdampar di tepi tanpa sambut darimu.

Kenangan memang berilmu mencari cari celah dan mengendap masuk ke dalam benak. Kini ia membawa kamu, yang bahkan telah berlalu dimakan waktu. Kini ia membawa perihal kita, yang tak pernah habis kubebani dengan tanya.

Bagaimana saya gampang melepasmu dari hatiku? Sedangkan kau saja membawa pergi setengah dari hatiku.

*
NOTES
-Untuk yang lagi menyesali kesedihan-

Kesehatanmu lebih penting dari sekedar menyesali kesedihan di bawah derasnya hujan.
Hujan mungkin akan bisa menyamarkan air mata, Tapi bukan kesedihanmu .


Merelakan(mu)

Bab 2
(Terhenti Tanpa Memiliki) 

Terhenti tanpa memiliki.  

Pada pertukaran rasa yang tak seimbang, saya menaruh bimbang. Ketika meneruskan hanyalah berarti menambah perih pada luka lainnya, dan berhenti juga tak menyembuhkan apa-apa.

Menaruh harap pada waktu yang akan menjawab, mungkin saja percuma; alasannya ialah hatimu sudah ada pemiliknya. 

Sedangkan aku, hanya tamu yang diundang pada sedikit
kesempatan saja. Belum genap memiliki, tapi hati ini mirip dipaksa berhenti mencintai. Harapan sudah mencapai menara tertinggi, tapi terjatuh karena tahu kau sudah ada yang memiliki.

Kornea mirip tercelik pada realita. Tadinya pinta bergegas menyapa pencipta supaya lekas menyatukan kita. Tapi doa-doa itu menabrak dinding negri utopia, menyadarkanku bahwa seharusnya angan-angan berhenti disini saja supaya tak menyakiti sesiapa.

Andai pertemuan kita tak berbentur pada garis segitiga yang menyatukan aku, kamu, kemudian ia pada sudut- sudutnya. Pada ketiba-tibaan datangnya sebuah rasa, saya memupuk asa. Seakan tidak peduli, bahwa
potongan kosong di hatimu sudah ada yang menduduki.

Juga tak ingin ambil pusing
dengan kenyataan yang mengharuskan kita berada pada jalannya masing-masing. Mungkin bekerjsama ada garis tak kasat mata yang menghalangi supaya saya tidak melangkah lebih jauh lagi. Namun saya menentukan untuk berpura - pura tidak menyadari keberadaanya. Sebuah rasa dalam benak ku.

Kamu, sedang tertawa dengan siapa? Sampaikan padanya, saya ingin mencicipi ada diposisi itu.

Rasa. R A S A,

Empat aksara yang biasa-biasa saja namun bisa mematahkan logika. Hati tidak pernah menentukan kepada siapa ia diambil alih, yang saya tahu saya jatuh cinta pada pandangan pertama hingga seterusnya.

Pada sebuah keramaian dan
kau menjadi sentra perhatian sedang saya hanya duduk di pojokkan, menyaksikanmu dari
belakang. Siapa sangka kamu, kau yang mirip lampu
pada dikala sehabis turun hujan yang memanggil laron untuk menari di dekatnya malah
menghampiriku, orang yang menyatu dalam bayang-bayang gelap keramaian.

Kita pecah dalam perbincangan perihal banyak hal hingga kembali utuh dalam kata kenyamanan. Segalanya saya lakukan dengan beberapa kali melaksanakan penolakan terhadap hatiku sendiri, kau telah bersamanya dan seharusnya saya tahu diri. Tapi kenyataannya hanya dengan
tatapan tenang luar biasa pertahananku runtuh seketika.

Bukan salah hati, bila sedikit cinta bisa mengundang rindu setengah mati. Bukan pula salah hati, bila sedikit cinta kelak menjadi alasan ada rasa yang tersakiti.

Nyatanya, cinta memang Tuhan ciptakan dengan mata yang buta arah. Bisa menuju siapapun, bisa terjatuh di manapun.

Sebenarnya saya sudah lelah menjatuhkan cinta pada hati yang salah. Aku juga ingin rasaku berbalas, bukan terus menerus berbatas. Harus meminta mirip apa lagi, supaya hatiku yang masih kutitipkan padamu, bersedia pulang kembali? Karena setiap kubiarkan perasaan-perasaan ini tinggal, saya takut lukaku semakin kekal.

Padahal bukannya tak kucoba mendayung bahtera gerakku keluar dari zona segitigamu, Tapi setiap gerikmu merangkul rasaku untuk tetap disitu. Yakni, mencintaimu tanpa jeda dalam diam.

Posisiku selalu serba salah. Di sisi diri, saya tak ingin kau dirangkul oleh orang yang salah. Karena hati ini bisa membahagiakanmu dengan berlipat kali dari yang ia beri.

Tapi disisi hati, saya akan sangat merasa bersalah bila berulah dengan cara merebutmu. Dari ia yang mencintaimu amat parah. Tak mungkin saya menumpukan luka dengan sesuka demi kebahagiaanku semata. Pada akhirnya, saya akan meminum racun air mataku sendiri karena tak berdaya meraih kau berada disisi.

Sewujud cinta tak pernah tahu dengan niscaya di mana ia semestinya berada. Karena bukankah ia tumbuh begitu saja? Ini bukan pilihannya bila kemudian ia berada di antara sepasang yang sedang sebenar benarnya merindukan rasanya pulang.

Ini di luar kemampuannya, bila ia justru menjadi sosok ketiga. Sepasang mata yang tanpa henti ia tatap, mungkin karena di situlah ia merasa sudah menemukan jawab. Hingga kemudian kenyataan menjadikannya lenyap.

Ke manakah ia harus melangkah? Ketika untuk menetap ialah tidak mungkin, pun untuk meninggalkan hanyalah sebuah langkah yang begitu berat. Saat mirip ini saya andal mencari siapa yang salah, kali ini waktu jadi korbannya.

Jika saja ia mempertemukan kita lebih dulu sebelum
ada kesepakatan yang mempersatu atau setidaknya andai saya tahu ada hati yang mendoakannya
selalu sebelum cinta ini menjadi terlalu.

Jika kebahagiaan harus diciptakan maka bersamamu ialah ketidakmungkinan.

Begitu banyak pertanyaan terjun bebas ke kepalaku tanpa jawaban yang sejatinya saya tidak tahu. Yang saya tahu saya mencintaimu, tapi akan rumit dalam realita. Setiap hari aku
harus menenangkan rindu yang berteriak mencari dimana tuannya, karena senyatanya ia tidak diaku siapa-siapa.

Kamu bersamanya semenjak kemarin hingga hari ini, sedang saya selalu menjadi sendal jepit yang meski nyaman namun tak akan pernah dipakai dalam acara-acara peringatan.

Kamu tahu saya ada, kau mencariku dikala bertengkar dengannya kemudian saya dengan mati- matian harus menahan diri bahwa orang yang saya cintai sedang bercerita banyak perihal orang yang ia cintai. 

Lagi-lagi saya tidak berdaya, saya menurunkan kasta, bila mencintaimu sulit, maka ijinkan saya ada di dikala kau sulit.
Setoples air mata telah kutampung dengan percuma, alasannya ialah tak akan memberi dampak apa-apa bagi hatimu yang hanya untuknya.

Sepenggal harapan hati hanya ingin istirahat menanti, sehabis berjuta hari menunggumu di
sini. 

Mencintamu itu bukan penyesalan, namun nyatanya tak ada cinta yang tak ingin diberi balasan. Yang kuingin kebahagiaan, mirip kala
sepasang mataku menyaksikan kalian berduaan.

Yang kuingin kepastian, perihal tarik menarik asa dan rasa yang mirip tak ada ujungnya. Yang kuingin cinta yang sederhana; cukup sederhana hingga saya tak
perlu meminta apa-apa untuk sanggup merasa bahagia, hingga saya tak perlu merasa kecewa
alasannya ialah keinginan tak sejalan dengan kenyataan, hingga saya tahu rasanya dicinta tanpa perlu mengiba.

Biarkan perasaan ini perlahan mengikuti aliran tanpa terlihat sebagai kesalahan, karena menurutku ini potongan dari pelajaran dalam perjalanan.

Pada siapapun ia takkan mungkin menurut, hingga waktu yang tepat membiarkan ia menyurut. Meski hati begitu mengingini, tapi saya tahu batas-batas yang tak bisa dipanjati.

Entah siapa yang akan menggesermu dari segala ketetapan-ketetapan perasaan, tapi saya hanya bisa menyerahkannya pada Tuhan.

Aku sedang menunggu dikala yang tepat untuk keluar dari segitigamu, kemudian silahkan buatlah garis lurus supaya dua sudut bersatu. Ya garis penemu untuk ia dan kamu. Bahagialah dengan kebahagiaanmu yang serba tanpa aku.

Tersenyumlah selalu meski senyumanmu lahir di balik tangisanku. Dan selamat malam untuk tidur manismu.

**** 

Perihal Menunggu

Puisi ;  

Tanda tanya 

Kamu ialah kekhawatiran-kekhawatiran yang tak bisa dibagi-bicarakan.
Sementara saya ialah kumpulan gelisah yang enggan diutarakan.

Jatuh cinta padamu mungkin, bagimu merupakan suatu kebetulan.
Tapi bagiku, itu merupakan suatu yang direncanakan.
Pppp you0
Semesta menjatuhi cintaku padamu, bukan sekadar keberuntungan atau kesialan.
Ia ialah sebentuk senang dan kesedihan yang dibungkus secara menyenangkan.

Kemudian saya menyadari satu hal.
Jarak diciptakan di antara kita sebagai sekat dan beda diciptakan jua sebagai media, bagi rindu
dan syukur akan setiap temu yang akan ada.

Aku menyayangimu tanpa apa apa.
Tanpa pertanda.
Tanpa saya membuat rencana.

Hanya tanda tanya diantara:

Senyummu.

-Untuk Kamu. Yang Sampai
Sekarang Masih Sabar
Kutunggu

**** 

Aku masih berharap kau sadar saya ada

#1 

Kadang saya bertanya di mana dermaga perjumpaan kita. Agar setidaknya saya bisa memetakan kapan dan dimana kita bisa bertegur sapa. Bukan tengah jenuh dengan penantian
yang saya ciptakan, tapi hanya sekadar mengingatkan bahwa saya di sini. Menunggumu.

Genap menahun dan masih. Mungkin detik ini kau tengah sibuk mewujudkan keinginan yang
dulu tak pernah bosan kau ceritakan. Aku pun sadar, ocehan ini hanya sayup angin hambar yang membuatmu menggigil. Sungguh mengusikmu.

Tapi, kalau boleh meminjam
menitmu sejenak, biarkan saya menceritakan perasaan ini...

Jangan sekalipun jatuh cinta pada seseorang sehabis kau mengetahui segala kekurangannya.

Karena itu hanya membuatmu sulit melupakannya. Aku sepakat dengan pepatah ini. Aku jatuh cinta padamu sehabis mengetahui segala
kekuranganmu.

Jatuh cinta padamu kadang kumaknai sebuah kutukan. Kamu dengan wajah sinismu yang menyebalkan, tak pernah kusangka karenanya bisa membuat tawaku pecah. Aku tidak tahu kapan pastinya kau dan saya bisa saling membuatkan kisah, dekat seakan tak ada jarak.

Hingga saya khatam segala kebiasaan dan kekuranganmu. Tapi tahukah kamu, justru itu yang membuat namamu masih bertahta di hati ini. Karena saya mencintaimu sehabis paham segala kekuranganmu.

Aku tahu ia yang selama ini menggenapkan bahagiamu. Tapi tahukah kamu, di tengah jarak kening dan sajadah, selalu terselip doa supaya kita karenanya ditakdirkan bersama.

-Semoga kau karenanya untukku- 

#2 

Aku tahu ia yang ada di hatimu. Dia yang jauh lebih tepat dibanding diriku. Mungkin kau tak pernah tahu, di tengah jarak kening dan sajadah, selalu kuselipkan harap pada-Nya supaya kita karenanya ditakdirkan bersama. Tanpa bermaksud mengusik kebahagiaanmu dengannya.

Aku memang bisa membuatmu tertawa dan siaga mendengar keluh kesahmu, tapi apa artinya itu bila pada karenanya ia yang justru menggenapkan bahagiamu?

Cintaku padamu tak perlu kupupuk setiap waktu. Karena kutahu rasa ini selalu berdiam
di tempatnya.

Silih berganti penggantimu di hatiku hadir. Namun entah mengapa pada karenanya namamu tak pernah bergeser dari posisinya. Kamu selalu menempati sudut Istimewa di hati ini.



Tanya selalu menyeruak dalam pikiran, mengapa begitu sulit bagiku melupakan kenangan bersamamu. Meski kenangan itu mungkin hanya segenggam tanganmu, berbeda dengan ia yang bisa membahagiakan
hatimu. Utuh.

Seperti ada gravitasi yang membuat namamu selalu kembali ke hati. Lagi, perasaanku padamu mengikat, meski kutahu tak pernah terbalas.

Ketika rindu singgah, selalu timbul tanya, Apa kabarnya kau di sana?
Sementara saya di sini tengah sibuk mengusahakan impian.
Ketika rindu singgah kusibukkan dengan mengusahakan impian.

#3 

Apa kabarnya kau di sana? Masihkah kau sama mirip dulu?

Jika mereka sanggup dengan
mudahnya merampungkan rindu, saya hanya bisa mengalihkannya.
Menyibukkan diri ialah cara
terbaik untuk tidak terlalu memikirkanmu.

Aku menentukan untuk mengusahakan keinginan yang
sudah lama kurencanakan. Ku yakin kau pun demikian, tengah bergulat dengan rencana
masa depan yang dulu selalu kau ceritakan.

Menunggumu tidak pernah ada kata jenuh, walau sudah genap timbul rasa lelah.

Mungkinkah memang saya ditakdirkan untuk mencintaimu?
Aku masih menanti saatnya saya dan kau menjadi kita.

Aku masih menunggu saatnya nanti saya dan kau menjadi kita...

Menunggumu tak pernah menjemukan. Meski sudah merengkuh sekian hari. Bukan waktu yang singkat memang. Mungkinkah itu menunjukan bahwa saya memang ditakdirkan untuk mencintaimu? Jika memang begitu, izinkan saya sejengkal lagi menunggumu.

Karena saya percaya, semua niscaya akan ada ujungnya. Pun mengharapkanmu niscaya akan ada ujungnya. Bahwa saya dan kau suatu dikala bisa menjadi kita ialah bukan delusiku semata.

Aku ingin menunggumu selamanya, tapi mungkin selamanya itu terlalu lama.

#4 

Menunggu akan selalu melahirkan kerinduan.


Boleh menitipkan beberapa pinta dan tanya? Khawatir sedang mengalir karena kabar darimu pun belum juga hadir. Jarak mirip bisa membombardir, hingga seisi penjuru hati ketar-ketir. Bisakah telepatikan dirimu ketempat kakiku berpijak? Jika semesta menyetujuinya, saya niscaya takkan mau beranjak.

Rinduku beranak pinak, bertemu ialah satu-satunya pintaku kelak. Hey kamu, pemilik nama yang berputar-putar terus dalam tempurung kepala.

Adakah debar ini menggema hingga ke sana? Asal kau tahu, senyummu itu candu. Memandu ekor mata ke arahmu, mencipta berjuta-juta percik rindu. Sungguh, betapa bertemu denganmu ialah yang selalu kutunggu-tunggu.

Semoga saya bukan dianggap pengganggu, alasannya ialah rasa ini terlalu membelenggu. Seperti hari-hari biasanya, rinduku selalu kalah oleh sesuatu yang senantiasa berada di antara kita. Rinduku enggan untuk mengalah, pun untuk sekadar membiarkan pikiranku
menyerah.

Ia mendambakan sebuah pertemuan, di mana saya dan kau saling membuatkan peran. Pada setiap kecilnya kesempatan, ia selalu menaruh harapan. Seperti hari-hari biasanya, rindu ini hati-hati meniti jarak yang kita bentang bersama.

Setiap hari, sedikit demi sedikit, melahap jarak-dan waktu dengan doa-doa yang kemudian menua dalam air mata. Aku tak akan mengalah pada jarak,

kau pun tidak ingin
dikalahkan waktu. Kita bertaruh dengan tuhan, bahwa jarak hanya ujian-bukan awal perpisahan yang kelak melahirkan ketiadaan.


Jarak itu pengarak rindu. Dan rindu mirip mediator saya dan kamu. Mereka mirip kado
istimewa dari pencipta. Lewat jarak, rindu merangkak. Meskipun kepastian belum ada di tangan, tapi rindu bisa kupertahankan. Untuk
mendekatkan kita yang berjauhan. Mungkin banyak yang menyepelekan perasaanku. Katanya sia-sia menunggumu.

Tapi setidaknya, rindulah guru yang mengajariku untuk sabar
menunggu. Semestinya Tuhan membuat hati kita berikut
tombol pengaturnya, sehingga rindu tak perlu berlebihan melebihi porsinya.

Aku tak tahu apa yang meracuniku. Seolah setiap pejam mirip sia-sia, alasannya ialah bayangmu ada di balik
kelopak mata. Seolah setiap tarikan nafas terlampau sesak, alasannya ialah gemuruh dada terus
mendesak.

Tahukah kamu? Bahkan sebuah
pesan tanggapan dengan aneh bisa meyakinkanku bahwa kita berdua mengamini doa yang sama.

Semoga benar begitu adanya.
Meski ragu pernah tiba dan memorak- porandakan hati yang sudah sepenuhnya berserah. Yang terang saya di sini sedang menggenggam erat percaya, bahwa selanjutnya
kita bisa terus melangkah bersama.

Di antara doaku dan doamu yang sedang menuju pada Sang Maha, harapan sedang tergantung tinggi di sana, menunggu untuk dijadikan nyata. Maka mengalirlah di air mataku, kau yang selalu mengisi malamku. Hiduplah dalam kata- kata, kau yang menghangatkan doa-doaku.

Kuatkan dada ini, dermaga yang akan jadi kawasan lelahmu berlabuh. Mengikatlah sauhmu pada bulat tanganku, dimana pelukan yang senantiasa kuimpikan, kita wujudkan menjadi selamanya.

Entah apalagi yang bisa ku percayai lewat jarak yang membatasi. Mana kutahu soal gerak-gerikmu di detik yang siap berlalu? Mana bisa ku terima pelukan pereda kesesakan? Mana bisa menahan ingin dan angan yang terus berhamburan?

Tapi saya hanya bisa mempercayai hati yang kerjanya hanya bisa mencintai.

Aku hanya bisa mengiyakan segala kemungkinan dan menaruh doa hanya pada Tuhan. Lalu apa lagi selain kerjasama semesta yang siap berkonspirasi. Perlu kau tahu, adamu bisa menyentil rindu hingga ke samudra terluas itu.

Bisakah kau mewujudkan itu?
Biarkan saya menghafal bekas langkahmu, jejak dari apa yang mungkin kusebut penyebab
rindu. Biarkan saya mengingatmu lekat-lekat. Sambil dalam hati, saya mengeja namamu lambat-lambat. Kupanggil sentra rasamu
mendekat, supaya rindu yang terasa tak lagi mempunyai sekat.

Dari jauh saya menanti, apa yang sanggup kau berikan sebagai jawaban dari hati. Jika kelak raga saling bertemu, jangan biarkan bibir saling membisu. Lunasi hutang rindu itu. Bayar dengan semua persediaan waktu.

Sebab tak pernah ada peluk yang cukup erat untuk rindu yang terlanjur mengikat.

Biarkan saya terus menunggu tanpa ragu, biarkan saya terus berharap untuk satu sebab; dan sudah kau ketahui jawaban di balik setiap mengapanya. Jarak memang seharusnya tidak begitu menakutkan.

Karena kenyataannya, kau tidak pernah menjadi lebih jauh dari pikiran. Kamu memenuhi dan mengelilinginya, namun selalu sanggup membuatku merasa nyaman.

Penantianku selama ini, telah memberiku terlalu banyak. Suatu hari nanti, mungkin saya tak bisa lagi menahan sesak. Sedemikian rindu, semakin sendu. Pilu menoreh badan,sedu makin sedan.

Aku mau kamu, dan hanya mau kamu. Datang dan berpeluklah, jangan biarkan para camar mengejekku setiap pagi.

Kembali dan tinggal, jangan biarkan malam-malam kuhuni sendiri. Suatu hari nanti, tiada lagi kekuatan yang bisa menahan, keberadaanmu yang hanya dalam angan, ketiadaanmu dalam pelukan.

Jika menunggu ialah pilihan satu-satunya, saya rela. Jika sepi sudah mulai menghuni, jangan gengsi untuk mencariku terlebih dahulu. Jika tak punya ruang untuk sekedar mencari tenang, kau tahu kemana harus
pulang. Karena kepulanganmu ialah tiket kebahagiaanku.

Jarak diam di perempatan
waktu, menunggu kita secepatnya menyusun temu. Kukira tidak mungkin mewujudkan hal yang semula nihil, Seperti halnya debar yang tak mau
mengecil, semenjak hatiku kau ambil. Dan rencana-rencana yang kita susun demi sebuah pertemuan, semoga karenanya mewujud jadi kebahagiaan. Jarak tak pernah nyata. yang positif hanyalah rindu kita.

Semoga segera tiba saatnya, ketika tak lagi ada sendu di sela- sela nafasku, alasannya ialah ada hadirmu di situ.

dari yang pandai menumpuk rindu, saya mencar ilmu bahwa tak pernah ada jarak yang cukup jauh untuk memisah, tak pernah ada jeda yang cukup lama untuk mencipta resah.

Puisi ;

Tanda tanya

Kamu ialah kekhawatiran-kekhawatiran yang tak bisa dibagi-bicarakan.
Sementara saya ialah kumpulan gelisah yang enggan diutarakan.

Jatuh cinta padamu mungkin, bagimu merupakan suatu kebetulan.
Tapi bagiku, itu merupakan suatu yang direncanakan.
Pppp you0
Semesta menjatuhi cintaku padamu, bukan sekadar keberuntungan atau kesialan.
Ia ialah sebentuk senang dan kesedihan yang dibungkus secara menyenangkan.

Kemudian saya menyadari satu hal.
Jarak diciptakan di antara kita sebagai sekat dan beda diciptakan jua sebagai media, bagi rindu
dan syukur akan setiap temu yang akan ada.

Aku menyayangimu tanpa apa apa.
Tanpa pertanda.
Tanpa saya membuat rencana.

Hanya tanda tanya diantara:

Senyummu.

-Untuk Kamu. Yang Sampai
Sekarang Masih Sabar
Kutunggu

****

Aku masih berharap kau sadar saya ada

1

Kadang saya bertanya di mana dermaga perjumpaan kita. Agar setidaknya saya bisa memetakan kapan dan dimana kita bisa bertegur sapa. Bukan tengah jenuh dengan penantian
yang saya ciptakan, tapi hanya sekadar mengingatkan bahwa saya di sini. Menunggumu.

Genap menahun dan masih. Mungkin detik ini kau tengah sibuk mewujudkan keinginan yang
dulu tak pernah bosan kau ceritakan. Aku pun sadar, ocehan ini hanya sayup angin hambar yang membuatmu menggigil. Sungguh mengusikmu.

Tapi, kalau boleh meminjam
menitmu sejenak, biarkan saya menceritakan perasaan ini...

Jangan sekalipun jatuh cinta pada seseorang sehabis kau mengetahui segala kekurangannya.

Karena itu hanya membuatmu sulit melupakannya. Aku sepakat dengan pepatah ini. Aku jatuh cinta padamu sehabis mengetahui segala
kekuranganmu.

Jatuh cinta padamu kadang kumaknai sebuah kutukan. Kamu dengan wajah sinismu yang menyebalkan, tak pernah kusangka karenanya bisa membuat tawaku pecah. Aku tidak tahu kapan pastinya kau dan saya bisa saling membuatkan kisah, dekat seakan tak ada jarak.

Hingga saya khatam segala kebiasaan dan kekuranganmu. Tapi tahukah kamu, justru itu yang membuat namamu masih bertahta di hati ini. Karena saya mencintaimu sehabis paham segala kekuranganmu.

Aku tahu ia yang selama ini menggenapkan bahagiamu. Tapi tahukah kamu, di tengah jarak kening dan sajadah, selalu terselip doa supaya kita karenanya ditakdirkan bersama.

-Semoga kau karenanya untukku- 

2

Aku tahu ia yang ada di hatimu. Dia yang jauh lebih tepat dibanding diriku. Mungkin kau tak pernah tahu, di tengah jarak kening dan sajadah, selalu kuselipkan harap pada-Nya supaya kita karenanya ditakdirkan bersama. Tanpa bermaksud mengusik kebahagiaanmu dengannya.

Aku memang bisa membuatmu tertawa dan siaga mendengar keluh kesahmu, tapi apa artinya itu bila pada karenanya ia yang justru menggenapkan bahagiamu?

Cintaku padamu tak perlu kupupuk setiap waktu. Karena kutahu rasa ini selalu berdiam
di tempatnya.

Silih berganti penggantimu di hatiku hadir. Namun entah mengapa pada karenanya namamu tak pernah bergeser dari posisinya. Kamu selalu menempati sudut Istimewa di hati ini.



Tanya selalu menyeruak dalam pikiran, mengapa begitu sulit bagiku melupakan kenangan bersamamu. Meski kenangan itu mungkin hanya segenggam tanganmu, berbeda dengan ia yang bisa membahagiakan
hatimu. Utuh.

Seperti ada gravitasi yang membuat namamu selalu kembali ke hati. Lagi, perasaanku padamu mengikat, meski kutahu tak pernah terbalas.

Ketika rindu singgah, selalu timbul tanya, Apa kabarnya kau di sana?
Sementara saya di sini tengah sibuk mengusahakan impian.
Ketika rindu singgah kusibukkan dengan mengusahakan impian.

3

Apa kabarnya kau di sana? Masihkah kau sama mirip dulu?

Jika mereka sanggup dengan
mudahnya merampungkan rindu, saya hanya bisa mengalihkannya.
Menyibukkan diri ialah cara
terbaik untuk tidak terlalu memikirkanmu.

Aku menentukan untuk mengusahakan keinginan yang
sudah lama kurencanakan. Ku yakin kau pun demikian, tengah bergulat dengan rencana
masa depan yang dulu selalu kau ceritakan.

Menunggumu tidak pernah ada kata jenuh, walau sudah genap timbul rasa lelah.

Mungkinkah memang saya ditakdirkan untuk mencintaimu?
Aku masih menanti saatnya saya dan kau menjadi kita.

Aku masih menunggu saatnya nanti saya dan kau menjadi kita...

Menunggumu tak pernah menjemukan. Meski sudah merengkuh sekian hari. Bukan waktu yang singkat memang. Mungkinkah itu menunjukan bahwa saya memang ditakdirkan untuk mencintaimu? Jika memang begitu, izinkan saya sejengkal lagi menunggumu.

Karena saya percaya, semua niscaya akan ada ujungnya. Pun mengharapkanmu niscaya akan ada ujungnya. Bahwa saya dan kau suatu dikala bisa menjadi kita ialah bukan delusiku semata.

Aku ingin menunggumu selamanya, tapi mungkin selamanya itu terlalu lama.

4

Menunggu akan selalu melahirkan kerinduan.


Boleh menitipkan beberapa pinta dan tanya? Khawatir sedang mengalir karena kabar darimu pun belum juga hadir. Jarak mirip bisa membombardir, hingga seisi penjuru hati ketar-ketir. Bisakah telepatikan dirimu ketempat kakiku berpijak? Jika semesta menyetujuinya, saya niscaya takkan mau beranjak.

Rinduku beranak pinak, bertemu ialah satu-satunya pintaku kelak. Hey kamu, pemilik nama yang berputar-putar terus dalam tempurung kepala.

Adakah debar ini menggema hingga ke sana? Asal kau tahu, senyummu itu candu. Memandu ekor mata ke arahmu, mencipta berjuta-juta percik rindu. Sungguh, betapa bertemu denganmu ialah yang selalu kutunggu-tunggu.

Semoga saya bukan dianggap pengganggu, alasannya ialah rasa ini terlalu membelenggu. Seperti hari-hari biasanya, rinduku selalu kalah oleh sesuatu yang senantiasa berada di antara kita. Rinduku enggan untuk mengalah, pun untuk sekadar membiarkan pikiranku
menyerah.

Ia mendambakan sebuah pertemuan, di mana saya dan kau saling membuatkan peran. Pada setiap kecilnya kesempatan, ia selalu menaruh harapan. Seperti hari-hari biasanya, rindu ini hati-hati meniti jarak yang kita bentang bersama.

Setiap hari, sedikit demi sedikit, melahap jarak-dan waktu dengan doa-doa yang kemudian menua dalam air mata. Aku tak akan mengalah pada jarak,

kau pun tidak ingin
dikalahkan waktu. Kita bertaruh dengan tuhan, bahwa jarak hanya ujian-bukan awal perpisahan yang kelak melahirkan ketiadaan.


Jarak itu pengarak rindu. Dan rindu mirip mediator saya dan kamu. Mereka mirip kado
istimewa dari pencipta. Lewat jarak, rindu merangkak. Meskipun kepastian belum ada di tangan, tapi rindu bisa kupertahankan. Untuk
mendekatkan kita yang berjauhan. Mungkin banyak yang menyepelekan perasaanku. Katanya sia-sia menunggumu.

Tapi setidaknya, rindulah guru yang mengajariku untuk sabar
menunggu. Semestinya Tuhan membuat hati kita berikut
tombol pengaturnya, sehingga rindu tak perlu berlebihan melebihi porsinya.

Aku tak tahu apa yang meracuniku. Seolah setiap pejam mirip sia-sia, alasannya ialah bayangmu ada di balik
kelopak mata. Seolah setiap tarikan nafas terlampau sesak, alasannya ialah gemuruh dada terus
mendesak.

Tahukah kamu? Bahkan sebuah
pesan tanggapan dengan aneh bisa meyakinkanku bahwa kita berdua mengamini doa yang sama.

Semoga benar begitu adanya.
Meski ragu pernah tiba dan memorak- porandakan hati yang sudah sepenuhnya berserah. Yang terang saya di sini sedang menggenggam erat percaya, bahwa selanjutnya
kita bisa terus melangkah bersama.

Di antara doaku dan doamu yang sedang menuju pada Sang Maha, harapan sedang tergantung tinggi di sana, menunggu untuk dijadikan nyata. Maka mengalirlah di air mataku, kau yang selalu mengisi malamku. Hiduplah dalam kata- kata, kau yang menghangatkan doa-doaku.

Kuatkan dada ini, dermaga yang akan jadi kawasan lelahmu berlabuh. Mengikatlah sauhmu pada bulat tanganku, dimana pelukan yang senantiasa kuimpikan, kita wujudkan menjadi selamanya.

Entah apalagi yang bisa ku percayai lewat jarak yang membatasi. Mana kutahu soal gerak-gerikmu di detik yang siap berlalu? Mana bisa ku terima pelukan pereda kesesakan? Mana bisa menahan ingin dan angan yang terus berhamburan?

Tapi saya hanya bisa mempercayai hati yang kerjanya hanya bisa mencintai.

Aku hanya bisa mengiyakan segala kemungkinan dan menaruh doa hanya pada Tuhan. Lalu apa lagi selain kerjasama semesta yang siap berkonspirasi. Perlu kau tahu, adamu bisa menyentil rindu hingga ke samudra terluas itu.

Bisakah kau mewujudkan itu?
Biarkan saya menghafal bekas langkahmu, jejak dari apa yang mungkin kusebut penyebab
rindu. Biarkan saya mengingatmu lekat-lekat. Sambil dalam hati, saya mengeja namamu lambat-lambat. Kupanggil sentra rasamu
mendekat, supaya rindu yang terasa tak lagi mempunyai sekat.

Dari jauh saya menanti, apa yang sanggup kau berikan sebagai jawaban dari hati. Jika kelak raga saling bertemu, jangan biarkan bibir saling membisu. Lunasi hutang rindu itu. Bayar dengan semua persediaan waktu.

Sebab tak pernah ada peluk yang cukup erat untuk rindu yang terlanjur mengikat.

Biarkan saya terus menunggu tanpa ragu, biarkan saya terus berharap untuk satu sebab; dan sudah kau ketahui jawaban di balik setiap mengapanya. Jarak memang seharusnya tidak begitu menakutkan.

Karena kenyataannya, kau tidak pernah menjadi lebih jauh dari pikiran. Kamu memenuhi dan mengelilinginya, namun selalu sanggup membuatku merasa nyaman.

Penantianku selama ini, telah memberiku terlalu banyak. Suatu hari nanti, mungkin saya tak bisa lagi menahan sesak. Sedemikian rindu, semakin sendu. Pilu menoreh badan,sedu makin sedan.

Aku mau kamu, dan hanya mau kamu. Datang dan berpeluklah, jangan biarkan para camar mengejekku setiap pagi.

Kembali dan tinggal, jangan biarkan malam-malam kuhuni sendiri. Suatu hari nanti, tiada lagi kekuatan yang bisa menahan, keberadaanmu yang hanya dalam angan, ketiadaanmu dalam pelukan.

Jika menunggu ialah pilihan satu-satunya, saya rela. Jika sepi sudah mulai menghuni, jangan gengsi untuk mencariku terlebih dahulu. Jika tak punya ruang untuk sekedar mencari tenang, kau tahu kemana harus
pulang. Karena kepulanganmu ialah tiket kebahagiaanku.

Jarak diam di perempatan
waktu, menunggu kita secepatnya menyusun temu. Kukira tidak mungkin mewujudkan hal yang semula nihil, Seperti halnya debar yang tak mau
mengecil, semenjak hatiku kau ambil. Dan rencana-rencana yang kita susun demi sebuah pertemuan, semoga karenanya mewujud jadi kebahagiaan. Jarak tak pernah nyata. yang positif hanyalah rindu kita.

Semoga segera tiba saatnya, ketika tak lagi ada sendu di sela- sela nafasku, alasannya ialah ada hadirmu di situ.

dari yang pandai menumpuk rindu, saya mencar ilmu bahwa tak pernah ada jarak yang cukup jauh untuk memisah, tak pernah ada jeda yang cukup lama untuk mencipta resah.

*sebab bila hati sudah saling
mengerti, selalu ada cinta sebagai alasan kita tak saling menyakiti. 


5# : Hujan reda

Telah kusiapkan jemariku untuk kau genggam. Karna kau niscaya butuh pegangan pada yang setia hingga selesai jalan. Telah kusiapkan semuanya kecuali satu, Kesiapanku atas pergi mu.

Padamu, entah telah berapa kali cintaku terjatuh. Tak ingin kuhitung dan tak mungkin terhitung. Kamu poros rasa; sentra segala debar di dada.

Kamu satu-satunya titik yang terpeta, di hati juga kepala; tujuan langkah-langkah yang sulit mengenal lelah.

Ternyata kita tak pernah sepaham perihal apa arti cinta. Bagiku cinta ialah kamu, namun bagimu cinta bukanlah aku.

Sebab itu, saling mempunyai ialah salah satu dari sejuta hal tidak mungkin yang pernah kuamini sepenuh hati namun tak jua terjadi.

Perhatianmu selama ini tanpa tujuan, kedekatan kita tampak semakin samar di masa depan. Genggaman tangan barangkali hanya tanpa perasaan, di dikala saya sedang sebenar-benarnya mendambakan. Tutur kata cinta yang begitu gampang terucap, setiap waktunya melahirkan sebuah harap.

Sepasang tatap mata teduh, kepada mereka saya telah terjatuh. Sebentuk angan-angan, di sanalah kita sedang
kuciptakan. Bahagia sudah siap untuk kugapai, dikala kau justru menentukan kata selesai.

Kukira saya cukup mengenalmu untuk menjadi keinginanmu. Kukira rasa kita saling menyambut untuk kemudian saling menyambung. Kukira kamulah jawaban dari segala
perkiraan. Memang nyatanya tak baik mengira-ngira, membuat semesta semu berjulukan asa.

Mengapa perilakumu seakan bilang cinta, namun hatimu ternyata tidak? Tanya ini tak pernah habis kutulis dalam benak. Andai semenjak dulu, saya tak keliru mengartikan bahasa tingkah lakumu, kuyakin rasa ini tak akan menjadi terlalu.

Jika kita tak mungkin, namun saya tak berhenti ingin, saya harus bagaimana? Jika kau telah menemu senang di
hatinya, namun bahagiaku hanya di hatimu, saya harus bagaimana?

Bukankah ada senang yang tampak positif dikala kau bersama dia, sementara tatapan mata begitu hampa ketika bersamaku? Kebersamaan kini telah hilang makna, namun rasa yang ada padaku enggan untuk sirna. Entah saya yang
belum siap atau perjalanan memang harus kulalui seorang diri lagi.

Namun kekosongan hati, entah siapa lagi yang akan mengisi. Barangkali, Tuhan hendak ajarkanku arti merelakan. Apa yang kudapat dari segala rasa yang kuberi namun tak
pernah mendapat balasan.

Barangkali, kau hanya cinta titipan, yang kapanpun bisa direnggut kembali oleh Tuhan. Atau barangkali, saya yang terlambat memahami. Bahwa ucap katamu serta tingkah lakumu yang pernah berarti untukku, nyatanya tak pernah berbekas apa-apa di hatimu.

Pada akhirnya, tak pernah hati ini bisa menyalahkanmu sebagai cinta yang salah. Sebab bila memang kau suatu kesalahan, mengapa mencintamu terasa begitu benar? Pada akhirnya, doa menjadi ungkapan paling sederhana dalam ukuran cinta yang tak mengenal angka.

Bila ujungnya ialah kau yang tak sanggup kumiliki, biarkan setidaknya saya mensyukuri keberadaanmu pada segala ruang dalam hati. Meski kini hanya tinggal sisa-sisa mimpi yang berharap untuk menjadi positif suatu dikala nanti.

Sekarang, berjalanlah ke titik di mana kau sudah menentukan langkah. Pada pundak sebelah kananmu, doa-
doaku menentukan untuk menetap di sana, seandainya suatu dikala nanti kau butuh tepukan pundak pemberi semangat.

Tentang cinta yang enggan tanggal meski hatiku telah ditinggal, jangan pernah tanya mengapa. Sebab ribuan
jawab rasanya akan percuma, bila tetap kita tak mungkin bersama. Semoga senang betah merumah di dadamu, semoga senang sesegera mungkin menemukan aku.

Tanda tanya?

***

Mengapa kamu?

Ada jatuh yang tak pernah kuduga-duga, hingga sebuah tanya muncul dalam benak; mengapa kamu. Mengapa pada seseorang yang sanggup kuketahui dengan pasti, bahwa karenanya ialah tidak mungkin?

Ada rasa yang tiba tanpa diundang, hingga tanpa sadar kuletakkan namamu pada urutan paling pertama dalam segala hal.

Ada cinta yang hingga kini masih kusangkal. Sebab, memberi hati kepadamu tak pernah sebelumnya terpikirkan. Barangkali, begitulah risiko jatuh cinta.

Betapapun sudah berhati-hati untuk tidak mencintaimu, selalu saja ada jalannya bila memang harus terjadi.

Sementara hati sebetulnya sudah lelah terjatuh sendirian, tapi Tuhan mendatangkan kau di hadapan. Kali ini entah sebagai jawaban, entah sebagai penambah pertanyaan, entah sebagai pemberi pelajaran.

Jadi, mau dibawa ke mana hatiku yang ada dalam genggammu itu?
Haruskah saya menujumu, perjuangkan kau lebih jauh?

Atau kembali saja pada titik mula cukup jadi pendamba?

Andai kau mengerti, ini bukan tanpa alasan.

Sebab yang kulihat hanya -dia, pada tatap matamu yang paling dalam. Sebab yang kudengar hanya -namanya, pada tiap nada kebahagiaan.

Sementara aku, tinggal di antara ribuan pertanyaan; perihal mengapa kita kemudian dipertemukan.

Sementara aku, berdiam di tengah ratusan perkiraan; perihal mengapa kepadamu, jatuhku tampak diizinkan.
Jauh, sebelum cinta tampak nyata, sudah kusadari bahwa semuanya akan berakhir dengan sia-sia.

Dalam hujan perasaan yang jarang sekali melegakan, saya tersadar bahwa cinta tak ma(mp)u dipaksakan.

Percuma saya berusaha dekat dengan yang lainnya, bila hatiku cuma kau yang punya. Inginnya kau ada dua; satu untukku, satu untuknya.

Tapi kutahu, dongeng ini tak mungkin tertulis begitu. Cerita ini memperlihatkan senang yang sama untuk kita semua-tapi sayangnya, bukan dari masing masing kita.

Kamu mirip ada untuk kucintai saja, bukan untuk kumiliki. Seperti dekat yang tak terjangkau, terasa tapi tak tergenggam, ada yang mirip tiada.

Aku ingin selalu mendoakan kebahagiaanmu, tapi saya yakin bahwa bahagiamu yang bekerjsama ialah aku.

Lalu, bagaimana saya harus berdoa, bila takdir sudah menentukan jalan hidup yang berbeda dan terpisah untuk kau dan aku?

Jika kelak saya ditakdirkan harus merelakanmu.

untuk merelakanmu, saya butuh tahu sesuatu. semoga bukan alasannya ialah doaku
alasan satu-satunya kini
kau lebih bahagia.

Jika kau ingin pergi, pergilah tanpa harus saya ketahui penyebabnya, tak perlu untuk sekedar mengucap selamat tinggal.

alasannya ialah 'selamat tinggal' itu kebohongan; tak ada dada yang selamat sehabis ditinggal.

Perasaan


Puisi ;

Ini Lucu

Aku sudah hingga pada tahap tersenyum dan bersedih
dalam waktu bersamaan ketika mengingatmu.

Nanti bila kau pergi, tolong hadiahi saya matras besar.

Agar ketika saya jatuh, rasanya tidak akan terlalu sakit.


*** 

Bab 5
(separuh jalan menuju hatimu)

Terkadang ketika terlalu mencintai, seringkali kita terlupa bahwa tidak semua hati patut diperjuangkan. Sebab, ada hati yang tak mungkin diluluhkan, sekalipun kita sudah berjuang mati-matian. Seperti saya kepada hatimu, misalnya.

Menujumu, saya sudah separuh jalan. Namun separuh hatimu saja seakan tak mungkin saya dapatkan.

Terkadang saya terlalu berusaha untuk membuat getaran- getaran itu tampak nyata. Seperti rasa yang tak pernah habis kehilangan asa.

Aku menyadari bahwa kau sama sekali tidak mengerti akan tanda tanda. Lalu haruskah kita yang sudah saya rangkai dan belum sempat dimulai, menemui kata selesai Kusebut kau debar tanpa usai.

Sebab meski cinta ini tak pernah diberi balasan, tetap pada hatimu saya selalu menginginkan. Kusebut kau satu-satunya penantian. Sebab untukmu saya selalu menjaga hati, tanpa pernah tahu bagaimana membuat harap ini mati.

Aku mengejarmu, kau mengejar yang bukan aku. Kita mirip berlari dalam bulat berliku yang ujungnya tak akan pernah berbalik menujuku.

Adakah kiranya setitik saya dalam lubuk hatimu yang terdalam? Sama mirip keinginanku akan kau yang tak pernah bisa diam.

Sempatkah saya untuk bertamu walau tak lebih lama dari waktu-waktu yang telah berlalu? Sebab sama mirip kau yang selalu berkunjung tanpa
memedulikan kebijaksanaan dan hati yang sedang beradu.

Karena di atas segala yang sudah ada, hanya kau yang kudamba. Pernah kucoba menyerah, namun hati sudah tak bisa mengubah arah.

Entah apa yang akan terlintas di benakmu bila tahu bahwa saya telah menginginkanmu sedalam itu.
Aku pernah melupakan harga diri hanya demi mendapatkanmu di sisi.

Aku merasa tak keberatan tersakiti,
hanya untuk menjadi milikmu yang sejati. Karna, Jatuh cinta denganmu ialah patah hati yang paling disengaja.

Aku layaknya seorang ndeso yang bahagia. Ah, biar saja. Dan kau di sana, saya tidak tahu sedang memikirkan apa.

Entah di potongan mana saya di sepanjang garis pedulimu. Mungkin saya hanyalah semu, yang tak pernah terlintas barang seujung kuku. Ada suara-suara yang tidak dengan
hati ingin kaudengar, ada senyuman-senyuman yang di matamu tidak begitu bersinar.

Pada langkah-langkahku yang bahkan sudah goyah, kau pernah menjadi penunjuk arah. Kini, saya hanyalah entah. Tentang tujuan hati yang selalu ada namamu tertulis, hanya kau sumber kenangan manis.

Tentang gores luka sisa perasaan yang tersia-sia, hanya kau satu-satunya
penghilang dan pembawa bahagia.

Ini bukan cinta buta. Ini hanya cinta yang terlalu menginginkan sebuah 'kita' ; dua hati yang saling melengkapi.

Akankah semua asa menjadi positif Ataukah akan tetap percuma sebagai tumpukan do'a? Padamu saya masih saja menggantungkan harap yang entah kapan akan terjawab.

Padamu saya masih saja mendamba segala sesuatu yang indah perihal kita. Pada sebuah arah putar balik, saya memaksakannya kemudian justru berhenti di satu titik. Memupuk asa dan keyakinan bahwa menunggumu
ialah pilihan yang terbaik. Entah akan hingga kapan, mungkin hingga pada nantinya kau menyadari segala perasaan-perasaan dan berkeinginan untuk membuka pintu
hati secara perlahan-yang entah kapan.

Katanya, segala yang 'terlalu' justru akan segera 'berlalu'. Jika kini saya begitu mencintaimu dengan terlalu,
haruskah kukurangi supaya perihnya tak kurasakan nanti? ingin diinginkan Hari-hari ini, beberapa daripadaku telah tampak tak kasat mata di kepunyaanmu.

Di dikala saya ingin menjadi satu- satunya titik yang kaupandang lekat-lekat, kenyataan menjawabnya dengan pahit yang teramat pekat. Sebab, yang ada padaku memang tidak untuk menjadi sesuatu yang menarik perhatianmu.

Teriakan yang tak terdengar, atau kau memang enggan menoleh kemudian sadar. Keberadaan yang tak terlihat, atau kau memang enggan untuk kita menjadi terlalu dekat.

Rasanya saya tak begitu berbeda dengan yang lainnya, namun mengapa tak kau berikan saya tatapan yang sama?

Harus sejauh mana saya menyentuh hatimu, supaya setidaknya kau tak buru-buru berlalu dari sisiku? Kukira
menyayangi lewat mimpi tak akan pernah senyata ini, kecuali padamu.

Lalu, ketika kini saya terlanjur cinta, rasa ini harus dibawa ke mana? Sementara ke hatimu saja tak kutemukan jalannya.

Kamu terlalu jauh untuk kuraih atau kedekatan memang tak pernah kauinginkan? Sebab berulang kali aku
memperlihatkan diri, namun tak sekali pun kau menyadari bahwa saya selalu ada.

Bagaimana bila rasa ini bukanlah
untuk sementara? Bagaimana bila saya tak sanggup lagi untuk menunggu lebih lama?

Barangkali terlalu sulit bagimu untuk menaruh peduli, sedangkan terlalu mudahnya saya untuk memberi hati.

Meski kau menentukan jalan yang tak pernah melewati pintu hatiku, ingatlah bahwa itu tak berarti saya tak menunggumu di balik pintu. Bisa jadi, di suatu waktu yang entah, kamu
tersesat kemudian berteduh di berandaku. Bisa jadi, di suatu dikala yang kelak, kau menemui nyaman di hangat pelukku. Tetapi, bisa juga tidak. Meski yang mereka lihat ialah bahwa saya selalu menerima, ingatlah, tak berarti saya tidak berusaha.

Barangkali di suatu waktu yang entah, kau akan mendengar. Barangkali di suatu titik yang entah, saya akan terlihat. Atau barangkali
sebelum semuanya itu terjadi, rasa yang ada justru telanjur pergi.
Semoga di suatu hari yang entah, kau akan tahu bahwa saya pernah sebegitunya ingin untuk diinginkan.

Semoga di suatu hari yang entah, kau akan tahu bahwa saya pernah
sebegitunya ingin untuk terlihat. Semoga pada dikala itu, segala sesuatunya belumlah terlambat.

Aku ingin lebih dulu rasanya berteriak, ingin memberitahu dunia betapa saya jatuh Cinta dengan sangat kepadamu. Tapi sebaiknya saya diam. Tuhan terang lebih tahu bagaimana dengan jelasnya kusebutkan engkau pada tiap sujud akhirku.

Lalu disepertiga malam pun sama, tak jarang dikala menyebutkan namamu ada senyum yang tanpa sadar terkembang sempurna. Lalu ketika rindu menyerang dan membuatku sesak, hanya tangisan saja yang menjadi penguatku, karena kau belum bisa hadir menghilangkannya.

Namun bila Tuhan tidak mengizinkan saya untuk memilikimu, kiranya Tuhan mengizinkan saya untuk memperhatikanmu, meski dari jarak yang begitu jauh.

***** 

Hujan penantian 

Aku sudah bersahabat dengan sepi semenjak lama. Namun sunyi atas apa-apa yang tanpamu, saya belum begitu mengakrabinya.  

**** 


Hari ini, saya telah hingga kepada suatu rasa; meski saya tak tahu apa namanya. Banyak yang bilang ini kagum semata, tapi hati bilang ini lebih mirip cinta.

Mengenalmu saya belumlah diizinkan semesta, apalagi untuk membuatkan kata kata. Hanya bisik-bisik dari banyak bibir yang bilang betapa sempurnanya kamu, sesuai dengan debar yang tetiba tiba bertamu ketika pandangan kita tak sengaja bertemu. Dilini media sosialmu yang setiap hari kulancang sebagai sarapan senyumanku.

Di mataku, kau ialah setoples kekaguman, penghantar senyuman, roda inspirasi, dan peta kebahagiaan yang melebur dalam satu rasa yang nampaknya masih begitu rahasia.

Aku belum ingin mengintrogasi hati, karena masih ingin jadi pemerhati dari tirai tersembunyi. Melakoni tugas sesosok yang mempunyai perasaan diam-diam. Mengoleksi segala gerak-gerikmu yang selalu menyentil kornea ini.

Dibalik ketidaktahuanku tentangmu, saya ingin ada di tengah-tengah sentra pencarianmu. Aku ingin ada disitu hingga kamus kepalaku penuh dengan semua tentangmu.

Aku pun bingung, mengapa hati lebih dulu mengagumi padahal tak tahu ini itu tentangmu. Segala sesuatu tentangmu di dunia yang jauh daripada nyata, seakan bisa menghibur dengan tidak biasa.

Lalu secara bertahap rasa kagum hadir dengan cara yang sama. Bagaimana bisa ada rasa yang bertumbuh, sebelum tatap mata bertemu lebih jauh.

Diam-diam saya mencari tahu perihal kamu, di antara kabar-kabar yang tersebar dengan lebih jitu. Diam-diam
saya mengharapkan adanya sebuah temu, meski tampaknya tampak ganjil.

Diam-diam kau mengganggu di potongan hati yang paling kecil. Yang kuinginkan, ini hanya sementara. Sebab untuk selamanya, kuinginkan kita telah bersama, saling mencipta
aneka macam bentuk gembira.

Yang kuangankan, menjadi alasanmu menggapai bahagia. Sebab kau telah lebih dahulu menjadi pembawa sukacita, bahkan sebelum kita menjadi nyata. Betapa aneh sebuah rasa hingga bisa meletupkan jutaan asa di dalam dada.

Sementara tentangmu saja saya masih
belum tahu apa-apa. Seperti berjalan dalam gelap, namun saya tahu ke mana kaki harus melangkah. Sebab hadirmu dalam hati, sudah menjadi penerang arah.

Pada setiap kagum, ada pergerakan detak yang saling berdentum. Tanpa harus sering-sering temu kuhitung,
namamu tersebar layaknya reklame di tiap sudut relung.

Pada suatu detik, saya ingin naik ke suatu panggung untuk mengenalimu lebih dari sekedar melihat dikala berbalik punggung. Tapi di detik yang lain, beraniku belum cukup usia untuk menampakkan apa yang bekerjsama kurasa.

Entah mana yang lebih baik, berada disini selamanya tanpa kau tahu apa-apa atau memberitahumu secepatnya perihal apa yang menganjal dada? Atau lebih baik berada di antara, tunggu semesta yang menjadi pengantara?

Di balik tundukkan kepala untuk meredam segala debaran yang kurasa, ada kecil harapan supaya kita bisa saling kenal di waktu yang sesungguhnya. Karna kau telah menjadi harapan (hope) yang selalu saya semogakan pada Tuhan. Di balik kagum yang belakang layar masih kusemai, ada keinginan supaya rasaku padamu akan sampai.

Semesta belum mengizinkan, pun saya mungkin belum siap untuk dihadiahi sebuah pertemuan.

Semisal nanti kita dipertemukan di pertengahan jalan, entah akan dengan cara apa senang bisa untuk kuungkapkan. Mungkinkah itu kamu, yang akan melengkapiku menjadi
kita? Mungkinkah itu kamu, yang akan menjadi kuala dari segala debar dalam dada?

Meski belum menjadi siapa-siapa, bukan berarti saya tak pernah ingin kita saling menyapa. Setiap kau melintas, ada pandanganku yang tak mau lepas.

Setiap kau tersenyum, ada dadaku berdentum. Kamu kurasa berbeda dari yang sudah-sudah. Kamu membawa begitu besar senang dari begitu kecil kesempatan bersama.

Mengagumimu saya tak akan lelah,
mengusahakan temu saya tak akan menyerah. Sebab hatimu serupa sebuah rumah, kawasan saya berteduh dari penat kehilangan arah.

Semoga kelak tak ada lagi keraguan untuk mendekat, ketika cinta sudah datang, kemudian kita merekat.

Mencintaimu, saya serupa bermain api di bawah deras hujan. Yakin bahwa selama tanganku melindungi apinya dari deras air, ia tak akan padam. Tapi kemudian lupa, tanganku terang bisa terluka oleh panasnya.

Aku [pernah] Ingin Diinginkan 

Teruntuk kau yang pernah datang, pernah hilang, pernah kembali, kemudian lenyap lagi.

Kamu yang tiba sebentar. Membahagiakanku. Mengutuhkan harapanku. Membuatku tertawa. Memperlakukanku seolah saya amat berharga. Seolah saya mempunyai arti lebih dalam hidupmu.Untuk kemudian pergi begitu saja, bahkan tanpa pamit.

Aku tahu kau mengetuk pintuku hanya ketika kau sedang lelah. Ketika kau butuh persinggahan. Kamu memerlukan kawasan untuk
beristirahat beberapa waktu.

Aku terlalu senang dikala itu. Hingga lupa, bahwa kedatanganmu hanya menyuguhkan luka.

Ketika kau menyukai apa yang saya sukai, itu hanya kebetulan semata. Ketika kau membuatku tertawa,
saya tidak berpikir kau sedang berusaha membuatku bahagia. Kamu hanya sedang menghibur diri, supaya tak lantas larut dalam sepi.

Agar sejenak kau lupa dengan seseorang yang gres saja menyakitimu. Kamu melaksanakan banyak hal bersamaku, bukan
karna kau ingin terus disampingku, kau hanya tidak bisa melakukannya sendirian.

Kamu tidak tahu rasanya menjadi sebuah persinggahan. Yang hanya membasuh peluhmu tatkala kau kelelahan, kemudian kemudian kau tinggalkan.

Kamu menghilang tiba-tiba. Kukira, kau sedang bercanda tawa dengan seorang pujaan yang lama kau idamkan. Kukira, kau lupa. Dengan siapa kau membagi lukamu.

Sedang tokoh yang menjadi ‘Aku’, bisa apa? Aku hanya tersenyum pedih mendapati merebahnya sebuah kepala diatas bahumu. Mau memanggilmu? Siapa aku?

Teruntuk kau yang kini entah ada dimana. Biar kutebak, kau sedang membelai lembut punggung tangan kekasihmu itu, bukan? Aku tidak mempunyai cukup kekuatan, karena pada karenanya air mataku menunjukan diri dipermukaan pipi.

Kamu hilang bukan dalam waktu
sebentar. Kamu pergi sangat lama. Hingga pernah ada masanya, saya berharap kau kesepian supaya kau tiba lagi.

Sebut saja aku, bodoh. Karna walau ditinggalkan juga diabaikan. Aku tetap berdoa supaya kau kembali.

Menyakitkan menjadi seseorang yang tidak pernah kau toleh sedikitpun, meski sekedar untuk kau tahu bagaimana keadaannya. Menyakitkan menjadi seseorang yang diinginkan hanya ketika kau sedang ingin bersembunyi dari perih.

Padahal yang saya tahu. Cinta akan selalu kau sambangi dalam sakitmu, atau bahagiamu. Dan yang saya tahu. Aku bukan cintamu. Kuharap kau paham. Tidak ada yang kekal dalam hidup ini.

Bagaimana bila Tuhan menukar posisi kita? Kamu jadi saya dan saya sejahat kamu? Siapkah kau dikecewakan? Kamu gres akan mengerti nanti. Saat kau diperlakukan layaknya persinggahan. Layaknya kau ialah tuan rumah yang harus menyediakan jamuan, demi memuaskan dahaga sang tamu.

Teruntuk kau yang masih hilang. Aku pernah mencintaimu dengan tulus. Aku pernah merasa dibahagiakan olehmu walau bekerjsama bukan itu maksud kedatanganmu.  Aku pernah ingin
diinginkan olehmu. Saat ini, saya berhenti.

Aku sudah selesai. Tak lagi kuberusaha mencari tahu tentangmu, perihal hari-harimu, menelusuri segala macam celah untuk tahu sedang apa dirimu. Siapa kita nanti sepenuhnya kuserahkan pada Tuhan.
Semoga kau selalu senang dijagaNya

-Dari Yang Sudah Tak Ingin Lagi.

Barangkali kau harus tau sesuatu hal; Pernah dicintaimu, saya jadi sulit mencicipi lagi cinta dari orang lain.
Cintamu masih saja, menjadi benteng kokoh yang tidak gampang dirobohkan untuk dilupakan. Mengurung diriku didalamnya, kemudian karam bersama tangisan-tangisan.

****

Rindu

Mencintaimu sepantasnya. Merindukanmu seperlunya. Mendoakanmu...
tanpa perlu kau tahu...


-Dari Seseorang Yang Selalu Mendoakanmu-

Untuk objek rindu, Di sebuah kanvas hitam milik semesta, tarian kembang api menghiasi malamku dengan meriah. Berisik dan meletup-letup. Aku hanya memandangi dari jendela, sambil sesekali mengetuk-ngetuk kaca. Tentang siapa yang berpesta, saya tidak peduli.

Tapi mengapa harus di malam ini? Ini kan bukan tanggal 31 Desember, ini bukan pergantian malam tahun baru, arlojiku juga tidak memperlihatkan pukul 00:00.

Tapi semesta selalu saja bisa membuatku merindukanmu lewat aneka macam cara. Meriahnya langit dan ritual malam tahun gres mirip ini misalnya.

Kalau ingatanmu belum buyar, tepat pukul 00:00 di sebuah malam pergantian tahun, kita mengakhiri dan mengawali perpindahan ini dengan sebuah doa. Tidak ada yang pernah tahu apa isi doa dari masing-masing kita, kecuali Bos Besar
di Surga.

Begitu rahasia, begitu sederhana, sedang kita hanya mengimani serta mengamininya tanpa perlu saling
bertanya. Lalu kau duduk merapat ke sisiku, sambil menyanyikan lagu-lagu yang begitu manis untuk didengar telinga. Seisi dunia mungkin sedang berpesta, berlomba untuk menjadi yang paling ramai atau mungkin sibuk dengan membalas ucapan-ucapan selamat tahun baru.

Tapi saya suka dengan cara kita menikmatinya. Doa, petikan gitar, lagu-lagu cinta, secangkir teh milikku dan kopi pahit milikmu, cukup kau dan aku, itu sudah lebih dari standar
kebahagiaan. Bukankah sesederhana itu seharusnya?

Bicara perihal kita, saya percaya perihal planning Tuhan yang luar biasa yang tak pernah bisa diprediksi oleh kepala. Bicara tentangmu, ada ucapan syukur untuk setiap adamu
yang selalu menitipkan senang dan 'nyawa' gres untuk hati. Bicara tentangku, ada sesuatu yang belum pernah kuungkapkan sebelumnya.

Bahwa saya menyadari rasa itu,
yang pelan-pelan merasuk, yang pelan-pelan cukup mengusik hatiku, yang belakang layar kusimpan. Bahwa benar, saya mencintaimu. Bahwa benar, namamu masuk dalam doa-doa yang kupanjatkan kepada Tuhan.

Salahkah bila hari ini saya merindukanmu lebih dari hari kemarin? Aku hanya tidak ingin terburu-buru, saya hanya tidak ingin
mengatur segalanya sesuai rencanaku, karena bukankah Tuhan lebih tahu?

Aku percaya bila kita ditakdirkan untuk bersama, niscaya kau dan saya tidak akan kemana-mana. Aku percaya bahwa Tuhan lebih andal menyatukan dua hati.

Aku tidak ingin khawatir, saya tidak ingin takut dan resah, karena aku
percaya segalanya akan baik-baik saja. Jika saya bisa, kau pun juga harus ya? Aku percaya, bila belum diberikan Tuhan berarti kita belum siap menerimanya. Kaprikornus saya berdoa, supaya kita sama-sama dipersiapkan untuk saling mempunyai dan saling mencintai.

Aku merindukanmu, kesayanganku.
Di balik malam yang begitu ramai, semoga Tuhan mendengar doaku supaya kita mempunyai doa yang serupa.
Semoga disana, kamupun juga sedang menyelipkan namaku dalam doamu. Semoga disana, kau juga sedang terusik dengan rindu.

Aku ingin mencintaimu lebih simpel dari kata cinta itubsendiri. Aku ingin mencintaimu dari ujung rambut sampaibujung kaki. Aku ingin mencintaimu seteduh embun dan
sehangat mentari pagi. Aku ingin mencintaimu dengan sepenuh hati. Aku ingin mencintaimu lebih hebat dari semua yang saya katakan tadi.
Namun bukan untuk dikala ini.

Karena kini saya masih memperbaiki, memantaskan diri.

Tunggulah saya pantas bila kau sudi, bila tak sudi silahkan pergi. Cukup saya yang luka bertengkar dengan rasa ini, saya tak ingin kau sakit hati."

Mengulang Rasa

Disela-sela kakiku melangkah maju, pandanganku masih dipenuhi beling masa lalu. Betapa bodohnya saya waktu itu menyia-nyiakan cintamu. Sesal masih berjejal, kuharap maafku bisa ditebus supaya lukamu tak kekal.

Jika memang padamu jalan itu masih menuju, bolehkah kakiku melangkah kembali ke situ?

Sebab sesal tak pernah kenal kata ‘awal’, maka maklumi saja bila waktu terlambat membawanya datang. Ada rasa takut untuk mengetuk pintu hatimu lagi. Ada rasa malu untuk memintamu kembali. Semoga sesal ini untuk yang terakhir kali, saya tak ingin semuanya terulang lagi.

Jika memang tak semua bisa mendapatkan kesempatan
kedua, bolehkah darimu saya mendapatkannya? Akankah
janjiku kau percaya? Untuk menimbulkan segala sesuatunya baik-baik saja, dan kita mulai kisah cinta berikutnya. Semesta yang membawaku kembali, pada dia,
sosok yang memang paling mengerti.

Maka dari itu ada kenyataan yang tak perlu kuhindari. Bukankah hidup ialah perulangan? Maka mencintaimu lagi akan saya lakukan supaya semesta tetap pada kebiasaannya.

Dulu kita sama-sama berteori soal percaya. Katanya cinta hanya untuk orang-orang yang percaya. Lalu teori itu musnah seketika karena ulahku. Mungkin, ada yang tak pantas diberi kesempatan kedua. Mungkin, kata percaya sudah tak punya makna.

Tapi saya ingin jadi satu-satunya
insan dalam hidupmu yang menguburkan segala kecewa dan
luka. Yang tak lagi menggunakan kebijaksanaan semata, tapi hati juga. Boleh ya? Jika ku sanggup kata iya. 

Perulangan rasa mungkin akan menjadi petualangan bagi cinta. Mengumpulkan rasa sebanyak banyaknya hingga hati mendewasa.
Jika memang memberiku percaya tak lagi kau anggap mudah, setidaknya biarkan saya mengubur kesalahan yang sudah-sudah.

Tak perlu memberiku kesempatan kedua, biarkan saya membangun jalanku sendiri supaya kita kembali
berdua. Tak perlu percaya aku, percaya saja hati dan perasaanku. Tak perlu percaya kata-kata, alasannya ialah akan
kujadikan semua perbuatan ini nyata.

Untukmu saya berusaha, semoga padaku hatimu mau membuka celahnya. Bukan tanpa rencana, bila kepadamu lagi hatiku bermuara.
Bukan suatu kebetulan, bila kau yang kutetapkan sebagai pilihan. Ada hati yang berlutut memintamu untuk kembali.

Ada hati yang tak mau menuju kepada yang bukan kamu. Ada kesalahan yang menunggu untuk diperbaiki, ada penyesalan yang tak akan terulang di kedua kali.

Akan kupastikan semua takkan terasa sama, kau hanya cukup mempercayainya. Akan ada bulir bulir rasa cinta yang gres di dalam air raksa cintaku. Meminumnya akan membuatmu menjadi raksasa di duniaku.

Hingga tak ada ruang untuk seorang ia yang entah kemana sehabis hilang meninggalkan jelaga hitam. Sekarang rasakan bulirnya mengobati luka yang telah saya toreh. Katakan padaku kalau rasanya sama, maka saya akan teteskan air mataku supaya mati semua racunnya.

Meski untuk meneteskannya aku
harus buta. Bukan salahmu, bila dulu tak memasang rambu. Hingga tertabraklah hatimu pada saya yang masih ragu. Hingga terjatuhlah hatimu pada saya yang tak bisa memapahmu. Hingga hancurlah hatimu pada saya yang berusaha
meyakinkan soal cinta, padahal itu hanya potongan rasa kasihan saja. Mungkin begini cara Tuhan menegurku.

Melukaimu dahulu, kemudian mengembalikan saya untuk menyembuhkan hatimu. Lalu sempurnalah formula temu yang tak sia-sia itu.

Mungkin memang begini cara kerja karma. Dibiarkannya saya melaksanakan salah, tanpa tahu nantinya tumbuh rasa yang tak kenal cara mengalah.

Tolong, jangan pergi ke lain hati. Jangan menambah sesal yang belum berhenti.

Meski terlambat, saya hanya ingin menjadi yang tepat pada waktunya.
Mari kita mulai lagi perlahan-lahan, saya yakin kau tak ingin membangun cinta yang asal-asalan.
Mungkin akan ada kesalahan yang sulit untuk dimaafkan. Maka izinkan saya menebusnya namun kini dengan sebuah ketetapan, bahwa saya sudah memilihmu sebagai tujuan.

Dan segala kesempatan tidak akan saya lewatkan. Apalagi kamu, yang tidak akan saya lepaskan. Maka terimalah, bila saya menginginkanmu lagi sebagai pelabuhan.

Merugilah aku, bila melewatkanmu, karena mengenalmu saja sudah jadi dongeng indah dalam hidupku. Bagaimana kalau kita ulangi lagi, perkenalan itu. Tanpa harus mengingat bahwa ini ialah repetisi. Ini ialah proses memperbaiki.

Mungkin, dengan mengulang kita bisa mempertegas ruang yang sempat menghilang. Kini sepenuhnya ruang di hatiku kusediakan untukmu. Bukan soal pantas, tapi hanya
denganmu segala perasaan-perasaan itu bisa pas kulepas. Tak kurang tak lebih. Aku tak ingin lagi membatas-batasi ruang di hati. Karena sepenuh dan seutuhnya telah legal jadi
rumahmu. Semoga sehabis maaf kukantongi dan percaya itu kembali, ruang dihatimu masih sama nama pemiliknya. Aku.

Menjadi sepenuhnya milikmu ialah kini tujuanku. Mari kita susun segalanya satu per satu. Mari jatuhkan hatimu lagi kepadaku. Akan ada saatnya semua nanti hampir runtuh, namun biarkan saya selalu ada dikala kau butuh. Ini hatiku

kupercayakan padamu. Ini janjiku kuucapkan, tidak untuk kulupakan. Ini maafku kumohonkan, semoga hatimu membukakan jalan. Kembalilah, dan jadilah pemilik dari
segala rindu. Terimalah saya dan biarkan lengan- lengan kita
bersatu. Karena telah kutemukan titik ternyaman untuk
kutinggali; hatimu.
Maukah kau menjentikkan jarimu supaya semua harapku
mengulang rasa, segera mewujud nyata?
tak semua pengulangan itu baik. mengulang kesalahan,
contohnya. maka biarkan kenangan manis saja yang kita
ulang. yang telah terlanjur pahit biar saja kita tinggal di
belakang.
kesempatan sebetulnya mempunyai jumlah yang tak
terhitung, bila memang hati kita punya rasa yang tak
terhingga. bukankah begitu?

Hujan Yang Sama

-Aku ingin mendatangimu. Kemudian kukatakan seluruh rasa itu, Yang tertahan hingga kini. Maksudku adalah; Agar kau bisa menolaku dengan benar....

Biarlah Aku mendengar penolakanmu, supaya saya sanggup membunuh rasa dan bisa patah hati dengan tenang. Tanpa harus terus berangan-angan.\

Titik henti.
 Kupikir semesta akan mengetuk perlahan kedua kelopak
mataku, kemudian menyadarkan dari mimpi yang ketinggian. Nyatanya, ia mengejutkan dengan sebuah kenyataan, bahwa kebahagiaanku selama ini sedang menikmati bahagianya yang tanpa aku.

Kini, seringkali saya bertanya-tanya, adakah hujan di tempatnya berpijak? Atau di sekeliling terasa mirip demam isu semi selamanya? Semisal ada yang menyebut ini cinta, barangkali hatiku eksklusif menyetujuinya.
Namun akalku, bilang tidak.

Sebab akupun tahu, bila cinta tak baik kurelakan begitu saja. Ini sudah bukan perihal demam isu yang terus berganti. Ini perihal hati, yang bersikeras masih menanti—meski tak ada yang pasti.

Tanda tanya besar mengganggu dalam benak, sibuk mempertanyakan positif atau tidak. Di satu sisi saya merelakan bahagiamu, namun di sisi lain bertanya-tanya mengapa bukan denganku.

Di satu sisi saya enggan untuk lebih lama menunggu, di sisi lain barangkali masih ada harapan untuk kita bersatu. Ternyata tak semudah itu menjadi rela, meski untuk melihatmu bahagia. Semakin saya merasa ini tak adil, semakin pedih terasa di hati. Percuma terus begini. Toh saya di sini, kau dengannya, kita tak mungkin bersama. Baiknya kupadami saja segala bara yang masih menyebut namamu tanpa jeda, supaya luka ini tak kubiarkan terus menganga.

Baiknya memang kita tak lagi saling menyapa, alasannya ialah sepatah kata darimu bisa memanggil jutaan debar di dadaku.

Seperti tahu betul kelemahanku, semesta selalu menghadirkan kamu. Atau mungkin saya yang diam-diam
mengantarkan tentangmu, hingga pada titik yang terdekat. Berbagai macam hal yang semesta suguhkan,
mengapa kamulah garis selesai dari segala ingatan?

Rasanya aneh, ketika ingin pergi dari hati yang tak pernah ingin dihuni. Barangkali sama mirip melepas yang tak ada dalam genggaman. Rasanya aneh, ketika harus merelakan hati yang tak pernah dimiliki.

Barangkali serupa meninggalkan kawasan yang belum sempat kujejaki. Rasanya aneh, ketika harus terluka alasannya ialah sesuatu yang kuanggap
cinta, padahal kau tak pernah menganggap itu ada.

Barangkali serupa menangis tersedu, namun tanpa air mata. Barangkali serupa saya yang kepadamu, dan titik takdirku yang hanya ingin henti di situ.

13# Cinta dalm diam.

cinta dalam hati-


Di sebuah ruangan yang dipenuhi kesunyian, rindu demi rindu berlarian, air mata demi air mata berjatuhan. Mungkin di atas sana, Tuhan sedang menatap dengan penuh
kekhawatiran atau barangkali di balik punggungNya tersembunyi sebuah kejutan.


Entah dimulainya semenjak kapan,
 inta ini tampaknya sudah cukup lama saya pendam sendirian. Aku tidak mengerti dengan baik mengenai
kerelaan. Namun yang saya tahu  engan pasti, di detik saat
sebuah senyum kausunggingkan, di titik yang lain saya juga turut mencicipi kebahagiaan.


Detak-detik jarum jam menusuk telinga, seakan menegaskan ada nada bisu yang diteriakkan semesta untuk
kita. Sunyi sudah menjadi teman, semenjak kutahu saya bagimu tak mungkin menjadi pasangan.


Aku ingin kau menginginkanku.
Satu kalimat yang kemudian menguap seiring berlalunya
waktu. Betapa menjadi yang tulus mencintai, menanti sepenuh hati, tetap saja bukan jaminan akan balas dicintai.

Apakah cinta memang begini? Apakah cinta bisa setega ini,
ataukah saya yang salah menangkap instruksi Tuhan perihal rasa di hati?

Terkadang saya ingin cinta kita semudah membalikkan telapak tangan, namun kusadari bukan dengan sesingkat itu mimpi bisa terwujudkan. Terkadang saya ingin cinta menemukan tujuannya sehabis lelah berjalan tanpa henti.


Namun mungkin waktunya bukanlah dikala ini. Mungkin tujuanku semestinya bukan kamu. Mungkin saya tidak perlu membuang waktu untuk terus menunggu.Sebut saja kedua mataku buta, yang tak juga menyadari ketika lampu merah
ke arahmu sudah benar-benar menyala.


Harus meminta Tuhan mirip apa, supaya kau kelak membalas seluruh cinta? Barangkali memang begini
seharusnya. Aku cinta, kau tidak. Aku terluka, kau tak tahu apa-apa.

Bersandar pada ketetapan hati, saya terus menanti. Meski kutahu bukan saya alamat rumah yang hatimu cari. Cinta ini sudah terlanjur, dan yang tertinggal hanya serpihan hati
yang hancur. Namun belum mengalah saya memperjuangkanmu, alasannya ialah belum ada lain hati yang bisa mengetuk pintu di dadaku.


Jika saya terus mengharapkanmu, bolehkah? Aku hanya ingin menjadi yang pandai mencintai, meski tak begitu fasih dalam ilmu memiliki.
Sementara hati ingin menjadi satu-satunya yang kau ingini, cinta pun berkata, ia tak ingin membenci. Tak apa saya bukan untukmu, tak apa kita tidak saling menuju.


Tetap saja segala harap, semua rindu, setiap peluk bermuara padamu.
Beberapa pelukan memang diciptakan untuk mengantar rindu hingga ke kawasan tujuan. Jika boleh sekali saja berharap untuk bisa memelukmu, menganggukkah kamu?
Jika boleh sekali saja tertawa untuk perjalanan yang entah kapan habisnya, bolehkah aku? Jika selamat tinggal ialah satu-satunya yang tersisa, ketahuilah bahwa selama ini
kau pernah menjadi sosok yang benar-benar saya cinta.


Pada karenanya kita berdua niscaya akan bahagia. Meski bahagiamu ialah dengan bersama yang lain, dan bahagiaku ialah mengubah arah harapan menjadi sesuatu yang lebih
mungkin.


Mengagumi dari jarak sejauh ini
ialah pintu senang yang
kupilih. Dan semoga kelak, Tuhan akan memberiku kunci
untuk pintu menuju senang yang lain: merelakanmu, misalnya.



Aku bukanlah siapa-siapa, tentu saja saya harus rela bila pada karenanya kau berjumpa dengan ia yang ditakdirkan semesta. Dan saya memang bukanlah siapa-siapa, justru itu yang membuatku harus menelan perihnya luka.


Jika menyayangi dalam diam ialah jarak terjauh yang bisa hatiku tuju, semoga secepatnya senang tiba menujuku. Semoga tangan-tangan keajaiban nrimo kelak memelukku, mencipta rasa lega luar biasa ketika melihatmu bahagia, meski bukan denganku.


Dingin dinding memeluk sunyi yang mencintaiku tanpa tetapi. Aku tersenyum lemah pada bayanganku sendiri, seraya bertanya: Masih sanggup menanti?
 Tak lelahkah hati?


Gaung namamu dalam bisu bibirku lebih nyaring daripada seluruh tanya itu. Dalam hati, cinta padamu terus mengaliri sepi.

Cinta ialah ketidak pastian

  tiba-tiba cinta datang


Aku telah berpencar ke seluruh penjuru, ternyata pencarianku berhenti padamu. Tiba-tiba kau tiba dan mengubah yang tiada menjadi ada, mirip cinta misalnya.


Kamulah kawasan pandangan kornea perlahan- lahan berpusat. Kamulah satu-satunya labirin yang membuatku rela tersesat. Kini kutemukan radar yang bisa mendeteksi keberadaanmu dengan berpengaruh meski tak
dari jarak yang dekat, mungkin lewat hati yang sudah ingin melekat. 

Setiap kali kau lewat, rasa di dada mulai bergetar hebat, namun bibir bisu merapat. Berharap ini menunjukan bahwa kamulah sosok yang kutunggu, bukan yang hanya mampir sesaat. Aku mulai berharap banyak pada ini-itu, termasuk kebetulan-kebetulan yang bekerjsama tak pernah masuk
akal. 


Berdoa semoga ini cara takdir menyatukan kita sebagai kelak yang kekal. Bukalah pintu di dadamu, alasannya ialah telah kuketuk semenjak pertama kita bertemu. Bukalah celah pada hatimu, supaya belum dewasa rinduku bisa berteduh dari hujan cemas; sebab
menjadi yang belum niscaya selalu membuatku was-was.


Dari segala perasaan-perasaan yang tersimpan, ada satu ketakutan mengapa belum juga isi hati kuutarakan. Benar saya dihampiri keraguan kalau perasaan ini sedang
kubangun sendirian. Dan dibalik ketidaktahuan, cinta tak sama sekali kau rasakan. Tapi saya berdoa, semoga kesempatan masih diberikan supaya hatimu tak berpenghuni dan pada suatu waktu hatimu bisa kucuri.


Mungkin keberanian belum bermain dalam arena permainan karena dulu kekecewaan lahir sebagai juara bertahan. Tapi kini kuletakkan percaya pada tingkat pertama diatas
segalanya. Karena bila hanya menaruh mata pada masa lalu, selamanya akan terkubur disitu. Jika benar cinta milik orang yang percaya, saya akan memulainya lewat mempercayai cinta yang masih berwujud pinta.



Jika benar cinta milik orang yang percaya, seandainya kecewa lagi-lagi
tiba saya akan menganggapnya sebagai guru pendewasa. Sementara setiap pertemuan selalu membawa kepada ketidakpastian, entah mengapa saya justru terus memupuk
nyali. Sebab pada hati yang sama, saya terjatuh berkali-kali.


Seakan saya percaya sepenuhnya pada takdir yang kelak akan menimbulkan kita sejoli. Namun saya mengerti, bahwa hal yang paling jelek sekalipun bisa saja terjadi. Kamu
menentukan lain hati, misalnya.


Yang perlu kau tahu, tak mengapa saya diminta terus menunggu, bila pada karenanya tetap padaku hatimu menuju.  

Tak mengapa saya diminta terus bersabar, bila pada karenanya tetap untukku rasamu menyebar. Juga, tak
mengapa saya harus menghentikan rasa, bila pada karenanya tetap bukan padaku kau menitip cinta.



Aku tak peduli dengan kekhawatiran perihal harapan yang akan pupus, pun pada luka yang nantinya akan membius.


Padamu saya ingin memutuskan titik fokus. Aku tahu ini terlihat tiba-tiba, tapi sungguh hati tak mengada-ada. Jika bisa kuelakkan teori gravitasi yang menantangi hati untuk terlempar lebih ja(t)uh lagi, niscaya kulakukan. 


Tapi mungkin begini kerja cinta yang sulit dibaca logika, tak bisa kita
bermatematika atau menggunakan rumus-rumus yang tersimpan dalam kepala. Selama apapun memutarinya, takkan
bertemu jalan keluarnya. Karena cinta bekerja lewat cara rahasia.
Sungguh, saya lelah dipermainkan hatiku sendiri.  

Rasanya ingin tanyakan segera: akankah kau memilihku, atau yang
bukan aku? Ketidakpastian memang indah, membuat kita berdebar dan
banyak menduga.


Namun apalah yang lebih indah dari
kepastian yang sesungguhnya, ketika ada rasa yang saling berkata ‘iya’ untuk sebuah keadaan 'bersama’?
Sampai kapan harus menunggu supaya takdir kita saling menjemput? Sampai kapan harus menunggu supaya cinta kita saling menyambut? 

Sampai Tuhan mengizinkan, tentu saja. Ya, saya sebetulnya tahu jawabnya, namun saya terlalu tak sabar untuk segera melaluinya.


Kedatanganmu yang tiba-tiba memang mengejutkan seisi hati. Ada tanya yang menggerogoti, “Siapkah jatuh, hati?” 

Setelah kuloncati satu persatu kejadian yang menghadirkan
kita ditengah-tengahnya, saya sadar bila saja semua terlewati tanpamu niscaya semudah itu muncul rindu. Tanpa perlu kupompa keluar, rindu sudah menunggu di luar pagar.


Berkali-kali lagi senang pun dibawa oleh kedua tanganmu disetiap kedatanganmu. Lewat cara-cara sederhana, saya telah jatuh cinta. Meski dikunjungi tiba-tiba, saya tak ingin kau keluar sebagai pengunjung, tapi inginku sebagai pengisi satu-satunya relung. Menghitung hari tidaklah menjadi gampang bagiku, alasannya ialah setiap detik waktu selalu mendesak untuk bertemu.


Juga tak gampang untuk mencoba tenangkan inginku yang hanya kamu, mungkin begitulah mencinta tanpa jemu. Pada karenanya nanti, yang kupunya hanya harap dan doa
dalam kotak hati. Semoga semesta memberi jalan yang niscaya supaya kau tiba membuka kunci, kemudian kita saling memiliki.


*seseorang bercertita perihal perasaannya. 

Tanda tanya lagi

 Aku duduk bersama senja. Dihadapan meja kayu yang masih sama. Ditemani kopi yang rasanya semakin pahit saja. Kali ini saya menanyakan perihal cinta. Senja bilang ia bisa bertahan bila semesta menghendakinya. Lantas apa
gunanya Tuhan ciptakan rasa? Jnggal saja, bukankah cinta itu perihal hati dua orang manusia? mengapa semesta harus berada diantaranya? Sungguh.
Ini menyebalkan.


Kau tahu saya benar-benar tak ingin mengingatmu. Tapi tampaknya sebagian diriku melawan. Mereka menginginkannya. Ingatan itu memburuku, seakan ingin menikamku tepat disini, kawasan yang erat-erat saya lindungi untuk kau sakiti sekali lagi, hatiku.

Aku tak bisa melawan apa yang diinginkan diriku. Walaupun saya ingin melawannya. Kenyataannya ingatanlah yang memilihku. Dan perihal bagaimana saya akan mengingatnya. Aku hanya akan tahu ketika saya mengingatnya. Begitulah cara kerja ingatan. Kau takkan pernah tahu hingga kau akan mengingatnya.

Aku tak pernah bisa menentukan ingatan mana yang saya suka untuk
saya simpan. Dan dengan cara yang demikianlah mereka mengingatkanku akan hujan. Hujan yang selalu merdeka, yang selalu tepat waktu, laiknya saya dan kau dalam masa kemudian kita, hujan dan ingatan ini ialah sejoli yang tak mungkin terpisah. Aku akan mengingat hujan tiap kali saya melihatmu, begitu juga sebaliknya, setiap kali saya mengingatmu, hujan turun.

Setiap kali hujan turun saya selalu merasa semesta berpesta pora diatas ingatan ini, mencoba menikamku, sekali lagi, ingatan ini. Ingatanku akan hujan selalu sama. Selalu menyenangkan dikala hujan datang. Pun dikala sore itu.

Hujan sore itu sangat deras dan kita berteduh dibawah halte bus tua. Tempat duduknya basah. Tapi kita sudah tak peduli lagi.Itu masih mending daripada harus hujan-hujanan lagi. Aku tahu kau gres saja sembuh dari flu berat, dan itupun karena aku. Aku yang memaksamu pergi menemaniku, padahal kau sedang tak lezat badan. Hujan nampaknya tak tiba tepat waktu mirip yang dikatakan temanku. Ataukah ia terlalu tepat waktu sehingga tak biarkan saya dan kekasihku yang malang ini hingga dirumah sebelum ia turun?

Sepertinya saya mulai menyalahkan hujan, hingga ternyata saya menyadari hujan punya maksud lain sore itu. Sementara saya berpikir perihal hujan dan mengapa hujan turun sore itu, Hujannya tak memperlihatkan gejala akan berhenti. Awan diatas kitapun masih hitam pekat.

Sepertinya ini menunjukan kita akan lama disini. Aku sudah mulai tak sabar, Aku ingin tahu seberapa deraskah hujannya. Lalu saya mengulurkan tanganku ke depan, mengukurnya dengan telapak tanganku. Kau memandang ke arahku dengan tatapan tajammu, mirip biasa.

Kemudian menarik lenganku. Sudah cukup, katamu. Aku menarik tanganmu mirip katamu. Sekarang saya sudah tahu seberapa derasnya hujan ini. Tapi saya tak pernah
tahu kalau itu hujan terakhirku bersamamu. Dalam ingatanku, bersamamu dikala hujan selalu menyenangkan.

Dan saya akan tetap mengingatnya mirip itu. Dan dengan cara yang sama mereka mengingatkanku
pada hujan, mereka mengingatkanku pada kopi. Kopi hitam yang saya pesan sedari tadi belum saya minum
setegukpun. Kau tahu saya akan membiarkannya hambar sebelum saya minum. Dan kau akan selalu bertanya
mengapa saya tak pesan saja kopi dingin.

Aku tersenyum.Tak apa jawabku, biar hangatnya untuk tanganku. Seandainya kau tak ada disini untuk menghangatkanku. Kau balas tersenyum. Tapi saya tak pernah menduga kalau kau benar-benar tak ada disini lagi dikala saya minum kopi itu. Dan tahukah kau, saya meminumnya hingga habis kali ini.

Sore itu. Di sebuah halte bus renta kawasan kita pernah bersama. Hanya ada aku, kopi yg segera dingin, dan hujan yg tampaknya tak akan berhenti. Tapi tahukah kau, hujan yang tampaknya tak akan pernah berhenti pun nantinya akan berhenti juga? Dan kopi yang hangat akan segera hambar dan saya harus meminumnya sampai
habis? Kau tahu benar kebiasaanku.

Aku sengaja tak pernah mengaduk kopiku supaya gulanya tetap dibawah.Biar pahitnya habis hingga manisnya datang, kataku. Kopi hitam yang ini, saya masih menunggu hingga manisnya datang.

Dan dengan cara yang sama, pada akhirnya, saya mengingatmu lagi walaupun saya tak mau.
*** 

bersama hujan dan kopi sore ini, saya mirip mendengarmu bertanya, separuh mengejek, apa kau lagi mengingatku? Aku menjawabnya pelan ditegukan terakhir
kopiku, Aku tak mau tahu lagi.

Menemukanmu

Kini, hati sudah tak terpenjara oleh luka. Pemasok luka bertukar kerja dengan pemasok bahagia. Tak ada yang terlalu lama untuk mempertahankan, tak ada juga yang terlalu cepat untuk melepaskan. Karena waktulah yang menentukan ketepatan.

Jika kini saya sudah bisa melepas, mungkin Tuhan sudah menyiapkan seorang yang pas. Mungkin kau orangnya, mungkin kau pemegang kunci hatiku yang baru, dan mungkin kau calon pemilik hatiku. Aku tidak sedang menerka-nerka, tapi sedang melahirkan cinta supaya terbiasa.


Seperti senyuman yang nantinya akan kau sponsorkan. Seperti ada seribu kupu-kupu di dalam perutku ketika
mata kita beradu. Mungkin mirip itu. Mulanya saya sulit untuk menerima, alasannya ialah batin terlanjur luntur rasa percayanya pada cinta.

Aku takut untuk mulai membuka hati, namun lebih takut lagi bila kelak tak terobati lagi luka ini. Lalu kau datang. Seperti kunang-kunang benderang ketika gelap malam menjelang. Kamu begitu sabar mengetuk pintu di dada . Seperti memanggil cinta itu dari tiada menjadi ada. Sungguh hangat terasa, ketika adamu melipur lara. Semoga ini bukan untuk sementara, yang
saya ingin ini tak ada habisnya.


Pada awalnya saya takut jatuh dan sama sekali tidak menemukan tangan untuk kurengkuh. Aku takut menggantungkan perasaan, namun malah berakhir dengan bertepuk sebelah tangan . Aku takut menitipkan hati kemudian kemudian justru tersakiti. Namun di dikala saya benar-benar menunggu datangnya kebahagiaan, kau didatangkan oleh Tuhan.

Mungkin karena itulah saya kemudian memutuskan kamu, semoga rasa kita kelak akan saling temu. Mencintai kadang memang harus menunggu. Menunggu seseorang yang tepat, menunggu jalan terbuka supaya tak tersesat, menunggu waktu yang seringkali mengajak debat.


Sebelumnya mungkin ada luka yang tak kasat mata di dalam dada. Aku pun sempat kehilangan rasa percaya bahwa hati ini juga berhak bahagia.
Sampai karenanya sosokmu tiba di duniaku, semesta pikiranku. Dirimu bukanlah sosok tepat yang mempunyai segala. Kau itu satu yang Tuhan hadirkan untukku, yang membuatku percaya bahwa dicintai bukan lagi hal yang semu.

Biarlah lewat kamu, cinta bisa bekerja tanpa diganggu. Biarlah lewat aku, cinta bisa mengembalikan percaya yang telah layu. Biarlah lewat kita, cinta bisa menceritakan keahliannya. Biarlah lewat cinta, kita bisabsama-sama meniru bahagia.

Biarlah segala rasavyang sedang mengantri tuk dicicipi menjadi saksi, bahwa kita memang ditakdirkan saling mencintai.


Aku ingin pada kita cinta menjadi poros utama.vKemanapun menuju, akulah tujuanmu. Kemanapun kamu
melangkah, ada saya di sisimu. Seberapa lama pun waktu akhirnya, semoga semesta memang menjodohkan kita dan luka takkan mendahului gerakan cinta untuk hingga ke kawasan kita.
Banyak harapan kutitipkan pada Tuhan. Agar kita kelak bisa terus bertahan, seberat apapun cobaan yang tiba di hadapan.

Sebagian saya ada padamu, maka jagalah sepenuh hatimu. Sebagian kau ada padaku, dan percayalah, saya hanya berencana membagi senang ini denganmu.


Kepada segala limpahan cinta yang tiba seketika, ada hatiku yang tak akan bisa melepasnya. Tetaplah
menjadi ‘kita’, jangan ada niat memisah.

Tetaplah menjadi 'kita’, buktikan padaku yang mirip apa yang kausebut dengan cinta. Tetaplah menjadi 'kita’, danbtunjukkan pada dunia bagaimana pada karenanya kita
sanggup bahagia. Tetaplah menjadi 'kita’ dan pada masing-masing, kita pelihara apa yang semestinya kita
jaga.b

Hatiku mungkin pernah patah. Langkahku tak jarangbgoyah dan kehilangan arah. Mencari jawaban di tengahbhati yang hampa hanya menghasilkan resah berkepanjangan. Rasanya mirip mencari gelap dibtengah malam, kemudian hanya kosong yang kutemukan.bKau mungkin tak sadar kalau hadirmu ialah penerang , yang menjelaskan pandanganku perihal gelap dan hitam, yang menuntunku pada satu jalan untuk menemukan jawaban,
yang memperlihatkan padaku kalau cinta itu bisa menyembuhkan.

Aku ada untukmu, kau tercipta untuk
melengkapkan aku. Dalam kebersamaan kita kebenaran cinta kurasa nyata.nKini biar Tuhan yang menentukan dongeng dan kita yang menjaga 'kita’.

Semoga cinta kita tak mirip segitiga bentuknya, yang menyelipkan sudut gres untuk dibagi cintanya. Tapi aku
mau mirip lingkaran. Cinta berada di tengah mengedarkan, kemudian kita berjalan pada garis yang tak terputuskan.


Aku masih amatiran, biarkan hanya denganmu cinta mahir dijalankan. Lihatlah, cinta sudah melebihi sekarung gula. Betapa manis dan magisnya, ia menyihir saya yang
terlalu senang menjelaskan rasa yang tiba-tiba ada. Ya namanya cinta, mengalirkan rasa sederhana dan segeranmenghadirkan sejuta dongeng perihal kita.


Terima kasih untuk sebuah adamu yang bisa menuliskan cerita-cerita baru. Di perempatan waktu, dengan doa saya menunggu.

Kepada satu-satunya tujuan rasaku, kuhadiahkan cinta ini untukmu.
Semoga bagimu, akulah titik di kejauhan yang telah selesai kau kejar, yang akan selalu membuat hatimu berdebar. Dan semoga bagiku, kamulah selesai yang tak pernah akan berakhir.



Sumber https://iyonxx.blogspot.com/

Related Posts