Mendidik Anak sebagai Generasi Penerus Bangsa Tidak Cukup Hanya Kognitif
Pernahkah kita menyadari bahwa anak terlahir dengan anugerah yang unik dan mungkin berbeda dengan yang lainnya. Setiap anak menyimpan potensi talenta dan kecenderungan terhadap suatu kemampuan entah itu kognitif, psikomotor, afektif atau bahkan spiritualitasnya yang menonjol. Lalu, pernahkan kita menyadari bahwa bangsa ini sudah terlalu mengagung-agungkan kognitif? Bahkan hingga kini pun banyak orang bau tanah yang percaya bahwa anak yang pandai ialah anak yang nilai ujiannya bagus, peringkat di kelas, peraih olimpiade sains dan sebagainya.
Perlu kita pahami bahwa insan hidup tidak cukup dengan kognitif. Dalam filsafat ilmu bahkan dijelaskan bahwa ilmu sejatinya tercipta sebab insan ingin bertahan hidup. Singkatnya, ilmu itu ialah alat insan untuk bertahan hidup dengan mengikuti keadaan terhadap lingkungan dan zaman. Lalu, bukankah seharusnya pendidikan ialah mengantarkan bawah umur biar beliau bisa hidup dengan baik di masa depan! Coba kita refleksikan kembali.
Sejatinya saya hanyalah seorang pendidik yang mungkin juga salah dalam berpendapat. Tapi, cobalah kita tengok kondisi bangsa kita ketika ini! Kenapa begitu banyak pengangguran bergelar sarjana? Kenapa begitu banyak koruptor di negeri kita? Kenapa bangsa ini tertinggal padahal buminya sangat kaya? Pertanyaan-pertanyaan itu hanya sedikit citra biar kita membuka mata bahwa sebuah bangsa bisa membangun dirinya dengan sebuah pendidikan. Lalu apa yang salah dengan pendidikan kita? Bukanlah kurikulum sudah diperbaiki dari zaman ke zaman.
Tidak ada yang salah dengan sebuah pendidikan sebab pendidikan ialah alat untuk memanusiakan insan tetapi menjadi salah ketika alat tersebut tidak dipakai sempurna guna. Oke, sedikit bercerita dulu supaya kita paham apa yang sedang kita diskusikan. “Orang bau tanah Budi menganggap anaknya pandai bila juara kelas, menang olimpiade, dan nilai mata pelajarannya bagus. Orang bau tanah Budi mengikutsertakan anaknya untuk khursus hampir seluruh mata pelajaran. Namun gotong royong Budi tidak pandai dalam mata pelajaran di sekolah. Budi sangat bahagia dengan menari, menyanyi dan seni rupa. Orang bau tanah Budi tidak pernah memperhatikan hal-hal tersebut dan hanya menganggapnya sebagai hal yang biasa saja”. Pertanyaaan saya, apakah benar yang dilakukan orang bau tanah Budi tersebut? Coba refleksikan kembali.
Terkait dongeng perihal orang bau tanah Budi tersebut, kita kembali lagi kepada esensi pendidikan sebagai alat untuk memanusiakan insan dan tugas ilmu sebagai alat untuk keberlangsungan hidup manusia. Ya, pendidikan harus bisa membuat bawah umur bangsa ini menjadi santun, bermartabat, mempunyai moral yang baik, suka tolong menolong sesama insan dan mengakibatkan mereka hamba yang baik di mata Tuhan. Bahwa ruh pendidikan harus membuat bawah umur peka terhadap kehidupan spiritual dan kehidupan sosial bermasyarakat. Kemudian ilmu yang mereka peroleh ketika di kursi sekolah juga harus bisa mendukung esensi pendidikan tersebut, selain itu juga bisa mendorong bawah umur untuk bisa bersaing dan bertahan hidup di masa depan.
Bagaimana caranya? Jawabannya sangat simple sekali, pertama sebagai orang bau tanah kita harus betul-betul paham apa potensi yang dimiliki anak kemudian kita kembangkan di jalurnya sehingga tercipta profesional di bidang tersebut. Pasti itu sulit? Ya tentu saja sangat sulit sebab kurikulum di negara kita belum mengcover hal yang demikian. Kurikulum pendidikan di Indonesia masih terlalu padat konten. Tapi setiap sesuatu yang diusahakan niscaya akan berbuah manis.
Ya kita ikuti saja kurikulum pendidikan, kita sekolahkan anak kita di sekolah yang baik akan tetapi janganlah menjadi orang bau tanah yang terlalu menuntut! Jangan menuntut anak untuk berprestasi akademik bila memang itu bukan bakatnya, jangan mengharuskan anak juara olimpiade matematika bila memang itu bukan kesukaaanya. Intinya sedikit berikanlah kebebasan kepada bawah umur untuk mencoba dan mengeksplorasi dirinya sesuai dengan apa yang beliau sukai. Indikator kecenderungan anak yang berpotensi di bidang tertentu ialah beliau menyukai hal-hal yang terkait bidang tersebut.
Dengan kebebasan eksplorasi beliau akan tau kelebihan dan kelemahan dirinya. Ketika anak sudah pada tahap beliau bisa memakai kelebihan dan kelemahan di dalam dirinya untuk mengatasi banyak sekali permasalahan yang dialami dalam kehidupannya maka anak tersebut mempunyai kecerdasan metakognitif. Bukankah itu pencapaian yang luar biasa dibandingkan juara olimpiade?!
Gambaran lain perihal ketakutan saya terhadap masa depan bawah umur ialah terkait problem moral. Dalam teori perkembangan moral, anak SD kelas rendah cenderung mengikuti hukum dan melihat baik jelek suatu tindakan dari konsekuensi yang didapatkan. Pada kelas tinggi sudah pada tahap peralihan yaitu mulai memahami bahwa baik jelek suatu tindakan tidak hanya dilihat dari konsekuensinya tetapi lebih kepada niat pelakunya. Pada taraf ini seorang anak cenderung mencari figur referensi bagi dirinya, maka dari itu orang bau tanah dan guru harus bisa menjadi sosok yang diteladani.
Melalui figurnya yang sebagai referensi bagi bawah umur tersebut orang bau tanah dan guru sanggup mengajarkan tindakan baik yang harus dilakukan dan tindakan jelek yang dilarang dilakukan dengan mudah. Termasuk di dalamnya mengajarkan perihal anti korupsi dan anti kejahatan yang lain. Keberhasilan figur orang bau tanah dan guru sebagai referensi tersebut akan memperlihatkan imbas positif terhadap perkembangan moral anak di masa depan.
Kembali lagi bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan sejatinya mengharapkan insan yang bermartabat dan sanggup bertahan hidup di tengah-tengah perkembangan zaman. Dengan demikian, pendidikan yang baik ialah pendidikan yang bisa menghadirkan situasi konkret dan kontekstual yang terjadi di lingkungan sekitar anak serta mengangkat masalah-masalah yang bersahabat dengan anak. Dari situasi pembalajaran yang sedemikian rupa, anak tidak hanya berguru perihal ilmu pengetahuan tetapi lebih dalam beliau telah berguru memecahkan problem serta bisa berguru bertahan hidup. Kenapa banyak sarjana yang penggangguran? Kenapa bumi kita kaya tetapi bangsanya miskin? mungkin akan terjawab ketika insan diberikan kemampuan untuk mengatasi problem hidupnya.
Sarjana tidak harus bekerja pada bidangnya tetapi ia bisa membuat lapangan kerja gres atau bahkan dikemudian hari sanggup memperkerjakan spesialis sekelas doktor. Bagaimana caranya kita ajarkan di SD? gampang sekali yaitu kita ajarkan lewat eduprenuership tingkat dini di mana bawah umur sanggup menjual sebuah produknya kepada teman-temannya di sekolah. Guru sanggup mewadahinya di dalam koperasi sekolah. Pastinya butuh komunikasi dan sosialisasi dengan orang tua, supaya orang bau tanah sanggup mendorong anaknya untuk membuat produknya sendiri secara berdikari dan orisinil.
Dorongan kreatifitas yang tinggi dan skill yang baik itulah yang akan mendorong bawah umur bangsa kita bisa memanfaatkan sumber daya alam yang berlimpah di masa depan. Dalam pemanfaatannya pun juga tetap menjunjung tinggi nilai-nilai berkeadilan dan lingkungan hidup. So far, seharusnya pendidikan itu bisa membuat generasi penerus bangsa yang bisa mengatasi problem bangsa, mengelola sumber daya alam dengan berakal bijaksana demi kesejahteraan rakyat, dan bisa bersaing dengan bangsa-bangsa yang lain di kurun globalisasi tanpa kehilangan jatidirinya. Bukan problem kognitif sajakan! Saatnya pendidikan tidak hanya mencetak orang pandai tetapi mencetak orang-orang yang bisa berlaku berakal bijaksana serta menjunjung tinggi moralitas dan integritas terhadap bangsa Indonesia sehingga bangsa ini sanggup mengatasi masalahnya dengan baik di masa depan.