Merah Putih Genting (- 100 tahun Bung Hatta)
(Seratus lilin menyerupai tak redup. seratus tahun serasa kemaren bung, inilah dongeng wacana ranah)
Setapak tepian yang tertinggal, lembah lembab barangkali angin pun masih setia, di sana dulu segala kamu pesankan tuah dan petitih, biduk dengan pendayung, sepancang tonggak hingga geliat kibar bendera maka di selaksa jejer pulau melati pun harumlah kemudian di setiap kolam-kolam teratai pun kembanglah harumlah, kembanglah indonesia, napas yang terpancang. menderap gegas memburu arah baru dan kamu bangun sempurna di sisinya meminang jejak sejarah, memainkan lagu waktu yang tak tersimak hingga alhasil kereta itu tiba juga; ke digul, ke digul! ke daerah di mana sepi ternyata tak berkutik selain sesungging senyum, segelas teh panas dan kacang goreng selebihnya mungkin jejak panjang wacana cinta yang hilang
Waktu yang tak bertekuk ekspresi dominan terus tua begitu segala tampak lelah dalam perguliran
Berapa kali kata terbingkai. berapa suluh yang telah menyala dan negeri itu sekarang serupa tersia kota-kota melumut
Benang-benang merah putih genting dari ujung ke ujung mengusuti hari-hari debu. hari-hari penuh mesiu “mengapa retak juga alhasil cinta ini? mengapa belah juga gemburnya tanah ini?” di tanah kusir, tanah yang kamu minta sendiri mungkin kamu dengar keluh orang-orang di jalan di ranjang di meja makan atau di tiang-tiang bendera yang tak kokoh betapa perjalanan sehabis tahun-tahun kesunyian tampak menyerupai langkah-langkah luka dan tua sebab di tiap tapal orang-orang berlomba mencuri demi nasib sendiri-sendiri dan kamu di sana, adakah tengah menangis, atau sedang berguru dansa
(Seratus lilin menyerupai tak redup. seratus tahun serasa kemaren ah, bung. istirahat sajalah!)
Payakumbuh
Puisi: Merah Putih Genting Sumber http://www.sepenuhnya.com/